Aku adalah setetes air. Salah satu sumber kehidupan.
Hari itu, udara terasa panas. Aku menanti datangnya angin. Aneh, biasanya dia datang membawa berita. Tapi, hari itu aku mendengar suara rintih yang memanggil "hal min nashirin yansuruni", (adakah seseorang yang mau menolongku). Suara itu membuatku bergetar. Hatiku berdebar, ketika angin itu datang. Kubertanya padanya, “Suara siapakah ini yang membuat hatiku luluh?” Angin menjawab, "Itu adalah suara cucunda Nabi yang bernama Husain, ia di Karbala. Lalu aku bertanya lagi, “Kenapa suara ini begitu menusuk hati sehingga diriku ingin pergi menemuinya?” Angin menjawab sambil menunduk sedih, “Karena ia sedang dikepung oleh musuh-musuh Allah dalam keadaan kehausan dan kelaparan.”
Ketika aku mendengar hal ini, aku turun ke bumi untuk menjawab panggilannya. Aku tahu, bahwa aku ini bukan siapa-siapa melainkan hanya setetes air semata. Tapi, aku harus menolongnya karena ia adalah kekasih Allah yang mulia. Aku lewati laut secepat mungkin, mencari jalan menuju sungai kecil yang akan membawaku menuju sungai Furat. Aku bertanya pada angin yang sedang lewat, “Apakah Imamku dalam keadaan selamat?” Angin enggan menjawab pertanyaanku. Ketika aku dalam perjalanan menuju sungai Furat, kembali terdengar seruan Imam lagi. "Hal min nashirin yansuruni?". Ketika mendengar suara itu, aku bergerak cepat melewati bebatuan sungai mengikuti alur air yang deras. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa sampai kepadanya, dengan harapan dapat mengobati rasa hausnya. Banyak bebatuan menghantamku, tapi langkahku tetap maju. Dengan satu harapan, "Kuingin bertemu denganmu wahai Imamku."
Sesampainya di sungai Furat, hatiku merasa lega. Aku mencari jalan untuk dapat sampai kepada Imamku. Tapi, tak terlihat seorangpun datang menghampiri sungai ini. Hatiku mulai merasa sedih kembali. Berharap seseorang datang dan membawaku untuk menemuinya. Tak lama kemudian, terdengar suara kuda mendekat. Seorang pemuda yang gagah dengan wajah yang bersinar datang menghampiriku dengan mulutnya yang kering. Aku bergegas mendekatinya. Wajahku senang memandang pemuda ini. Kemudian, dia mengambilku dengan kedua telapak tangannya. Dia menatapku dengan penuh rasa iba, lalu menuangkanku kembali ke dalam sungai. Hatiku pun menangis, mengapa dia tak mau meminumku untuk melegakan rasa hausnya. Lalu, dia membuka girbahnya (tempat air dari kulit) untuk diisi air. Tanpa berpikir panjang aku bergegas memasuki girbah itu, berharap dapat mengobati rasa haus Imamku. Hatiku berkata, “Wahai Tuhanku! Terima kasih banyak, Engkau telah memberikanku kesempatan yang mulia ini”.
Pemuda itu bergegas meninggalkan sungai itu. Tak lama kemudian, terdengar suara lesatan. Tiba-tiba, terdengar suara menggema sangat keras, rupanya sebuah anak panah masuk melubangi girbah ini. Hatiku berdebar kencang. Suara benturan keras membuat girbah dan pemiliknya pun jatuh bersamaan. Akupun mengalir keluar membasahi tanah yang gersang. Aku melihat pemandangan yang memilukan. Wajah pemuda gagah itu berlumuran darah, tanganya yang tadi menggenggamku kini telah tiada. Aku menangis memandanginya. Darahnya mulai mengalir membasahiku. Tiba-tiba, datang seseorang yang wajahnya bersinar mendekatinya. Ia peluk pemuda itu dengan erat. Sambil berlinang air mata ia mengusap wajah pemuda yang berlumuran darah itu. Aku hanya terdiam memperhatikan percakapan dua orang mulia ini. Hatiku berkata, “Ooh, inikah wajah Imamku yang terluka itu." Mungkin aku tak mampu menolongnya, tapi senang dapat menjawab panggilannya. Walaupun berakhir di sini, tapi hatiku merasa senang dapat memandang wajahnya, "Wahai Imamku, aku akan hadir dan menemanimu di surga, mengobati rasa hausmu."
Akhirnya, aku pun sirna ditelan bumi. Tapi tak merasa rugi karena aku dapat bertemu dengan Imamku, Imam Husain cucunda Nabi. Hatiku senang dapat hadir untuk menjawab seruanmu. Labbaika Ya Husain.
[qmah_science]
0 komentar:
Post a Comment