Tuesday, August 4, 2009

Ulurkan Tangan Untuk Remaja

BAGAIMANA memperlakukan kami, remaja jagalah rahasia sediakan informasi …
dan pelayanan gunakan bahasa yang kami paham tanya dan hargai pendapat kami jangan mengadili biarkan kami memutuskan sendiri buatlah kami merasa diterima dan sediakan pelayanan yang sesuai saat kami perlukan

Suara remaja untuk para petugas kesehatan profesional itu dipasang di dinding PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) wilayah DKI Jakarta. Dana Kependudukan PBB (UNFPA) memang sengaja membuat itu untuk disebarkan ke berbagai instansi pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Maklum, hingga diselenggarakannya Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo 1994, kebutuhan remaja nyaris tak didengar. Padahal saat-saat itulah seorang anak mengalami perubahan, tumbuh menjadi dewasa, dan terbukanya berbagai cakrawala baru: positif maupun negatif.

Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja (adolescents) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sementara PBB menyebut anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun.

Risiko negatif terbesar yang dihadapi remaja menyangkut kesehatan reproduksinya. Tubuh dan emosi mereka berkembang sehingga siap menghasilkan manusia baru, namun informasi dan pelayanan terhadap kesehatan reproduksi sangatlah terbatas.

Sebenarnya kebanyakan risiko negatif yang dihadapi remaja bisa dicegah. Namun, banyak orangtua, pemuka masyarakat, dan penentu kebijakan, takut beraksi. Mereka tidak ingin menginformasikan soal seks pada remaja, karena beranggapan bisa memicu kebebasan tak terkendali dan pengabaian moral.

Di sisi lain, orangtua mungkin malu menjelaskan soal kesehatan reproduksi pada anak-anaknya. Pemuka masyarakat tidak bersuara karena takut memicu kontroversi, sedang pengambil kebijakan tak berani mengambil risiko tidak populer dan ditinggalkan pendukungnya. Tak ada yang memikirkan dampak-nya berupa biaya sosial yang seharusnya tidak perlu
dibayar masyarakat.

PADAHAL kenyataan me-nunjukkan, ada satu milyar jiwa -kira-kira satu dari enam orang-di planet ini tergolong remaja (10-19 tahun) dan 85 persennya hidup di negara berkembang. Kebanyakan remaja sudah aktif secara seksual, meski banyak yang terjadi di luar kehendaknya.

Sehingga kalau didata dari berbagai negara, setengah dari jumlah di atas telah menikah. Aktivitas seksual ini membuat kesehatan reproduksi remaja menghadapi berbagai ancaman. Paling tidak data UNFPA menunjukkan, setiap tahunnya 15
juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan dan 4,4 juta
di antaranya memilih aborsi.

Yang berbahaya, sebagian besar menjalani aborsi yang tidak aman. Data global menunjukkan, satu dari tiga perempuan yang terpaksa dirumahsakitkan karena komplikasi aborsi, umurnya kurang dari 20 tahun. Sementara remaja yang mela-hirkan pun, masih berisiko. Hasil penelitian menunjukkan, melahirkan pada usia kurang dari 18 tahun berisiko kematian
2-5 kali lebih tinggi dari usia 20-29. Jangan lupa, 10 persen
dari persalinan di dunia terjadi pada ibu remaja.

Aktivitas seksual ini juga merambah ke masalah lain: hingga 100 juta remaja tertular penyakit kelamin. Secara global, 40 persen dari kasus HIV/AIDS baru di seluruh dunia terjadi pada usia 15-24 tahun. Ini berarti tiap hari diperkirakan ada 7.000 remaja terinfeksi HIV.

Kalau masih kurang, deretan risiko ini bisa ditambah dengan hasil studi di 19 negara yang menunjukkan remaja pula yang paling banyak menderita penganiayaan seksual dari pelecehan, incest, sampai perkosaan. Setiap lima menit ada remaja yang mencoba bunuh diri karena masalah emosional dan sosial yang berkait dengan kesehatan reproduksinya.

MESKI terlambat, kebutuhan untuk melindungi kesehatan reproduksi remaja ini akhirnya dikenali para pengambil keputusan dunia, yang pada puncaknya dirumuskan di ICPD Cairo.

Salah satu rekomendasi ICPD Cairo dengan jelas menyebut: pemerintah dan organisasi nonpemerintah wajib membuat program yang mengakomodasi kesehatan seksual dan reproduksi remaja. Setiap negara juga diharuskan menghapus segala bentuk hukum, peraturan, adat, dan nilai-nilai sosial yang menghambat informasi dan pelayanan kesehatan seksual pada remaja.

Beberapa hal pokok yang diperlukan remaja juga digarisbawahi seperti informasi dan konseling keluarga berencana, pelayanan kesehatan reproduksi termasuk bila terjadi kehamilan, konseling tentang gender, perilaku seksual yang bertanggung jawab, dan penyakit-penyakit menular lewat hubungan seksual, serta pencegahan remaja dari kejahatan seksual dan
incest.

Saat ini, setelah lima tahun berlalu dan hasil implementasi ICPD Cairo dievaluasi di Den Haag Belanda dan New York, sebenarnya sudah ada kemajuan yang terjadi di banyak negara. Namun ada juga negara-negara yang belum juga beranjak dari paradigma lama, yang sayangnya dalam hal ini termasuk Indonesia.

Banyak organisasi yang sudah membuat beragam program untuk memenuhi kebutuhan reproduksi sehat remaja. Meski program yang ada masih terlalu sedikit dan terbatas untuk menjawab seluruh kebutuhan dunia, ada beberapa yang tampaknya menarik untuk diaplikasikan di tempat lain.

Di Venezuela, suatu LSM bernama Prosalud seperti dilaporkan Panos membuka hotline gratis berskala nasional untuk mengatasi kehamilan remaja. Hotline yang dikenal dengan sebutan Linea 800 Precoz itu, menyediakan informasi soal seksualitas, kontrasepsi, dan cara-cara untuk mengatakan “no sex” pada mereka yang tidak ingin melakukan hubungan seksual.

Hotline ini didukung oleh dokter rujukan yang tersebar di seluruh negeri dengan jaminan kerahasiaan, rumah sakit, sampai konsultasi dan informasi mengenai pekerjaan atau program belajar bagi remaja hamil yang dikeluarkan dari sekolah.

Di Swedia ada jaringan 150 klinik yang tersebar di negara itu, yang siap melayani remaja dengan menyediakan pekerja sosial untuk konseling, ginekolog, juga bidan untuk pemeriksaan umum. Di situ remaja bisa mendapatkan kontrasepsi, menjalani uji tertular tidaknya penyakit hubungan seksual, dan sekaligus penanggulangannya.

Sedang di Thailand yang menonjol adalah program untuk gadis-gadis muda pekerja pabrik tekstil di Chiang Mai. Dengan tekanan pada pencegahan HIV/AIDS, program ini memanfaatkan beberapa pekerja yang supel sebagai sebagai peer leader. Hasilnya, gadis-gadis muda itu lebih percaya diri, mampu berkomunikasi, dan punya kepekaan sosial serta komitmen untuk mencegah penularan HIV/AIDS.

YANG yang perlu digarisbawahi dari contoh-contoh di atas adalah dukungan pemerintah terhadap berbagai program yang sudah diselenggarakan LSM. Tak ada lagi yang bersikap munafik, tutup mata terhadap kebutuhan remaja dengan alasan moralitas.

Semua sadar, bila usia reproduksi aktif ini tak ditangani, biaya yang harus dikeluarkan kemudian bakal jauh lebih besar. Apalagi kenyataan menunjukkan, berbagai layanan dan keterbukaan akses ke fasilitas kesehatan reproduksi ini tidak membuat remaja makin bebas dan tidak bermoral. Pemerintah Indonesia tampaknya masih harus belajar banyak dari mereka. [idionline]

0 komentar: