Aku sudah mendengar cerita tentang surga. Aku memang belum pernah melihatnya, tapi aku mempercayai cerita yang kudengar tentangnya. Sebab, aku sudah melihat banyak manusia yang merasakan kebahagiaan. Juga karena aku sudah melihat banyak bentuk kesetiaan dan keikhlasan.
AF Machtum
Terjemahan dari buku Ya Man Kunta Habibi, Anis Mansur.
Dengan suara yang kecil dan lembut, seperti suara Fatin Hamamah, Magidah, dan Syadziyah, perempuan itu menceritakan kisahnya berikut ini:
Aku mendengar cerita surga dan neraka dari ibu dan ayahku. Tapi, pada waktu itu aku belum mengerti makna surga dan neraka.
Aku belum bertanya-tanya pada diriku sendiri. Aku membayangkan bahwa surga adalah sebuah taman yang besar berisi burung-burung, bunga-bunga, bayang-bayang, buah-buahan, dan orang-orang yang bahagia.
Di sana manusia tidak pernah merasa lelah. Jika dia membayangkan sesuatu, dia segera mendapatkannya. Surga adalah dunia tanpa mimpi-mimpi dan tanpa khayalan, karena mimpi adalah anak-anak tangga bagi orang-orang tertindas dan khayalan adalah senjata bagi orang-orang tersiksa.
Aku mengkhayalkan bahwa surga pasti memiliki pagar-pagar dan pintu-pintu. Aku tahu ada banyak orang berusaha mendekati surga, berusaha memanjat pagar-pagarnya, menerobos pintu-pintunya, dan menyerang penjaganya, Ridwan. Tapi, usaha mereka gagal. Mereka berusaha berkali-kali dengan sekuat tenaga, namun mereka malah masuk ke pagar-pagar dan pintu-pintu yang lain, yaitu pintu-pintu neraka, pintu-pintu penjara, rumah sakit, pengadilan negara, dan pengadilan agama.
Aku membayangkan pagar-pagar surga itu sangat tinggi hingga mencapai langit, sangat besar hingga mengelilingi bumi seluruhnya. Surga punya pintu rahasia yang tidak diketahui seorang pun. Sekalipun ada orang yang mengetahuinya, orang itu tidak akan dapat memasukinya, dan sekalipun ada orang yang dapat memasukinya, itu pasti mesti dengan ijin atau surat masuk. Aku tidak tahu cara memanjat tangga seperti kucing, cara menyelinap di pintu seperti pencuri, dan cara menerobos masuk seperti roket. Jadi, aku tidak bisa masuk surga.
Tapi, jiwaku menjadi tenang saat aku percaya bahwa Tuhan itu penuh kasih. Tuhan adalah Bapak dan Ibu yang paling baik untukku dan untuk semua manusia. Aku tahu pagar-pagar surga dipenuhi pintu dan pintu-pintu itu dipenuhi lubang. Lewat lubang-lubang itu, Allah ingin memberikan manusia nikmat melihat dan mendengar surga. Dia ingin kita menyukai surga dan menyukai tinggal di surga. Dia ingin kita merasakan surga dengan mata, telinga, dan tangan. Tapi, kita tetap tinggal jauh dari surga sampai saat kita diperkenankan memasukinya.
Aku sudah mendengar cerita tentang surga. Aku memang belum pernah melihatnya, tapi aku mempercayai cerita yang kudengar tentangnya. Sebab, aku sudah melihat banyak manusia yang merasakan kebahagiaan. Juga karena aku sudah melihat banyak bentuk kesetiaan dan keikhlasan.
Aku belum pernah melihat Allah, tapi aku sudah melihat ciptaan-Nya, maka aku mempercayai-Nya. Karya yang agung hanya diciptakan oleh Zat Yang Agung. Karya yang keagungannya tidak berbatas pasti diciptakan oleh Zat Yang Agung yang keagungan-Nya tidak berbatas juga.
Aku belum pernah melihat Allah, tapi aku sudah melihat bekas-bekas-Nya.
Aku belum pernah melihat surga, tapi aku sudah melihat bekas-bekasnya di wajah-wajah yang bahagia dan hati-hati yang rela dan tenang.
Aku mengenal surga pada saat aku mengenal ketersiksaan, kegagalan, kesendirian, dan kepa
hitan, pada saat aku merasakan kekosongan. Aku menjalani kehidupan yang benar-benar berwarna merah dan kosong. Aku tidak mendapati pasir-pasir yang lembut, fatamorgana yang semu, bahkan badai yang panas sekalipun. Segala sesuatu dalam hidupku beku dan mati.
Aku tahu surga tidak begitu.
Surga adalah pepohonan, bayang-bayang, air, dan kebenaran.
Aku berkata kepada diriku sendiri, “Aku akan mencoba, mencoba mencari surga, dan aku harus bersabar.”
Kesabaran bukan barang aneh bagiku. Dia adalah sahabat, kekasih,ayah, ibu, dan anakku. Dia adalah sesuatu yang memenuhi bantalku yang kosong, hatiku yang bolong, dan hidupku yang hampa. Aku sering menangis. Air mata membuatku tenang. Cuma air mata yang menunjukkan bahwa aku masih hidup, bahwa awan dalam hidupku telah bergerak dan menjatuhkan hujan. Tapi, hidupku yang kering tidak menjadi lembut karena air mata itu.
Aku sangat yakin bahwa aku akan melihat surga. Melihat surga tidak seperti melihat hilal bulan Ramadan. Surga bukan berada di langit hingga bisa kulihat dari atas atap rumah. Surga ada di dalam diri manusia, dari manusia, bersama manusia, dan untuk manusia. Kunci surga itu kecil dan terbuat dari sebuah kata yang indah, satu pandangan yang manis, dan satu sentuhan penuh kasih. Pintu-pintu surga terbuka hanya dengan dua setengah kata, “Bukalah, hai Ridwan!”
Aku tidak tahu bagaimana mengumpulkan huruf-huruf dua kata itu.
Aku tahu setengah kata itu, yaitu, “Hai.”
Aku sudah mengatakan setengah kalimat itu pada ayahku, tapi dia tidak mendengarkan.
Kepada ibuku, tapi dia tidak menjawab.
Kepada orang-orang, tapi mereka pergi menjauh.
Kata itu pun akhirnya mati dari lidahku.
Tapi, ada sesuatu yang lebih besar daripada cinta dan lebih besar daripada kejujuran. Sesuatu itu seperti puncak yang mengatasi rumah, seperti langit yang memeluk bumi, seperti Allah yang menyayangi semua makhluknya, manusia dan binatang. Tahukah Anda apa yang lebih besar daripada cinta? Rasa sayang. Allah adalah Sang Penyayang. Bumi yang kita tempati adalah salah satu tangan kecil yang dibentangkan oleh Allah bagi kita agar kita dapat hidup di atasnya.
Bagaimana aku mengumpulkan huruf-huruf rasa sayang dari manusia. Mereka pelit dan egois. Tapi aku memaafkan mereka, sebab hidup adalah perlombaan dan orang-orang yang sedang berlomba pasti saling membenci. Bahkan, orang-orang yang menonton perlombaan pun saling pukul satu sama lain. Ayahku memukul pamanku saat mereka menonton pertandingan sepakbola. Semua manusia seperti ayah dan pamanku. Mereka semua sedang menonton perlombaan atau saling berlomba, lalu mereka saling memukul. Aku memaafkan semua manusia.
Hatiku menjadi tenang pada saat aku mengetahui bahwa isyarat masuk ke dalam surga hanya bagi orang-orang yang sabar.
Aku sudah bersabar.
Dan kesabaran bukan barang aneh bagiku.
Jika pintu itu tidak dibuka untukku, untuk siapa dia dibuka? Adakah orang lain yang akan mendahuluiku?
Tidak mungkin.
Aku pikir aku mempunyai hak, hanya saja aku ini orang yang lemah. Saat orang yang punya hak adalah orang yang lemah, haknya menjadi lemah juga.
Aku pernah mendengar ayahku berkata bahwa undang-undang artinya hak yang dijaga oleh kekuatan. Kekuatan artinya negara. Aku tidak dapat menjaga hakku karena aku bukan negara. Jadi, hakku yang ada pada manusia akan hilang.
Tapi, apakah hakku yang ada pada Allah akan hilang juga? Semua manusia sama di hadapan Allah, baik orang yang kuat atau orang yang lemah. Bahkan, tidak ada orang yang kuat di hadapan Allah. Jadi, aku bukan orang yang lemah, melainkan orang yang kuat, karena aku sedang berurusan dengan Allah, dan bukan dengan manusia.
Kupikir sekarang aku bukan sedang hidup di zaman berjalan kaki, melainkan zaman pesawat terbang, bahkan zaman yang lebih cepat dari pesawat-pesawat terbang, yaitu zaman roket. Anjing telah meluncur naik ke langit, berputar, terus berputar, dan akan sampai ke planet lain sebelum manusia.
Aku tidak dapat meluncur dan tidak tahu bagaimana meluncur. Aku hanya berdiri, menonton. Berdiri seperti satelit alam sementara banyak orang berusaha mencapai diriku. Aku tetap jauh dari manusia dan manusia pun tetap jauh dariku. Jadi, aku harus menjadi seperti satelit buatan. Satelit buatan meluncur ke atas, dan hanya meluncur dengan kekuatan roket. Roket adalah keberanianku. Aku harus berani, tapi bagaimana?
Aku duduk sendirian. Kali ini aku merasa benar-benar sendirian, padahal aku sudah seperti ini selama sepuluh tahun. Aku sangat merasakan kesendirian ini. Segala sesuatu jauh dariku. Bangku-bangku, gorden-gorden, telepon. Aku melihat cermin. Tanganku indah. Betisku indah. Rambutku juga indah. Wajah dan tubuhku juga.
Aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apa yang salah denganku? Mengapa manusia ingin sedangkan aku tidak? Apakah kehidupan ini lautan dan hanya ikan yang bergerak di dalamnya sedangkan aku bukan ikan? Apakah kehidupan itu langit dan hanya burung yang bisa menjangkaunya sedangkan aku tidak punya sayap? Bukan! Lalu apa? Aku tidak tahu.”
Aku selalu mendengar cerita tentang surga. Aku merasa bahwa aku adalah pemburu keadilan. Atau, aku adalah pasien yang terkena salah satu penyakit menular. Nama penyakitku adalah kesengsaraan dan aku tidak mendapatkan obat untuknya. Kesengsaraan artinya runtuhnya harapan, kesendirian, dan ketakutan.
Saat aku pergi ke bioskop, menyaksikan sebuah film, aku menjadikan film itu sebagai pakaian yang kupakai lalu kulepaskan. Pakaian itu kukenakan di siang dan malam hari, dan aku tidak melupakan film itu dari pikiran dan hidupku kecuali setelah aku melihat film yang lain. Jika aku melihat seorang aktor mencium seorang aktris aku merasa pakaianku robek dan gigi-gigiku pecah. Aku seperti terbang dari tempat dudukku untuk mencium kaki aktor itu dan mengatakan kepadanya, “Cukup, kauhancurkan diriku!”
Yang menyelamatkanku dari siksa siang hari hanya tidur. Tidur adalah surga bagi orang-orang miskin yang tidak mendapatkan makanan pada hari itu dari belas kasihan orang lain. Tidur memindahkan aku ke dunia yang aneh. Ranjang adalah pesawat antariksa yang membawaku ke pintu-pintu surga. Di sana aku melonjorkan kaki kepada Ridwan dan berkata kepadanya, “Berikanku apa yang telah diberikan Allah padamu! Pandang diriku. Berkata-katalah kepada. Pukul aku sekalian. Aku ingin merasakan sentuhan manusia yang bahagia dan engkau adalah penjaga kebahagiaan.”
Aku menaiki roket keberanianku, pergi ke seorang dokter, dan berkata kepadanya, “Dokter, aku sakit. Aku menderita. Obat sakitku tidak terdapat di botol atau kapsul. Sakitku aneh, dan obatnya aneh!”
Aku melihat kejujuran di mata dokter itu Aku melihat kejujuran itu dua kali. Aku melihatnya percaya padaku dan aku melihatnya mengatakan kejujuran. Aku memandangnya dan di dalam diriku aku merasa bahwa pandanganku itu adalah tegukan pertama obat yang menyembuhkan penyakitku. Aku menemukan seorang manusia yang mengatakan kejujuran. Aku melihat senyuman manis di wajah seorang laki-laki yang memenuhi langit dan bumi. Laki-laki itu, kebetulan, adalah Ridwan.
Aku menemui dokter itu dan untuk itu aku tidak perlu roket peluncur atau keberanian, sebab aku dekat dengannya.
Aku berkata kepadanya, “Dokter, aku di depanmu. Dan, untuk pertama kali dalam hidupku ….”
Aku tidak menyelesaikan kalimat itu. Aku telah mengatakan sesuatu yang aneh, “Untuk pertama kali.”
Aku merasa sangat pusing. Aku merasa menaiki lift yang sangat cepat mengangkatku ratusan tingkat. Aku berkata kepadanya, “Aku merasa untuk pertama kali aku berterus terang padamu. Aku telah menanggalkan semua perasaanku, akalku, dan hatiku. Percayalah padaku, dokter.”
Bayangkan, dokter itu percaya padaku dan aku percaya padanya. Ini adalah hembusan pertama angin surga. Aku merasakan kesendirian yang sangat menakutkan. Aku merasa sendirian bersamanya. Aku merasa dunia sudah ditinggalkan oleh semua manusia. Akulah Hawa, dialah Adam, dan tidak ada orang lain selain kami di surga.
Aku tidak tahu bagaimana aku masuk surga, mengapa Ridwan mengijinkanku, dan apakah aku masuk surga sembunyi-sembunyi saat dia sedang tidur? Apakah aku memanjat tangga, atau pagar-pagar surga yang melebar dan memasukkan aku ke dalamnya? Atau, apakah aku jatuh dari sayap-sayap salah satu malaikat? Atau, inikah akhirnya ganjaran kesabaranku?
Ketika aku menanyakan Ridwan, aku melihatnya ada di sana. Dia menjadi pelayan kami. Kutunjuk dia, dia pun datang. Kutunjuk lagi, dia pun pergi. Aku berharap Ridwan membuka surganya untuk semua manusia. Aku tidak ingin bahagia sendirian. Aku ingin semua manusia bahagia, supaya aku melihat kebahagiaanku dalam kebahagiaan mereka dan melihat kebahagiaan mereka dalam kebahagiaanku, sehingga aku bertambah bahagia. Aku ingin menjadi cermin tempat orang-orang sabar melihat hasil kesabaran mereka. Aku ingin orang-orang sabar itu menjadi cerminku, agar aku ingat ketersiksaan yang telah aku tinggalkan selama-lamanya.
Aku ceritakan kepadamu sebuah rahasia, “Aku sedang jatuh cinta.”
***
Cerita perempuan itu selesai.
Aku berharap bisa kembali kecil seperti dia, bisa kembali beriman seperti dia, atau surga bisa kembali bermakna bagiku. Atau, Ridwan bisa menjadi saudaraku. Tapi, surga tidak dimasuki anak-anak kecil. Anak-anak kecil adalah kekasih Allah.
Tapi, aku tidak bisa kembali lagi menjadi anak kecil, bahkan remaja sekalipun.
Aku masih muda. Tapi, hatiku sudah tua.
Sumber: af4machtum
Monday, July 19, 2010
Kuceritakan Kepadamu Sebuah Rahasia...
Posted on 1:06 PM by Hasan M
0 komentar:
Post a Comment