Rona lukisan wanita itu merasuk ke dalam sanubari pemuda itu; maka saat itu indera pendengarannya dapat menangkap dan memahami bahasa roh yang hadir di ruangan itu, dan hatinya membara disulut cinta.
Berjam-jam telah lewat, seakan-akan hanya sesaat mimpi indah, atau setahun pula dalam hidup keabadian.
Pemuda itu meletakkan lukisan itu di depannya, lantas mengambil pena, mencurahkan perasaannya pada kertas:
“Kekasih! Kebenaran Agung yang menguasai Alam, tak dapat disampaikan dari satu insane ke insane lain melalui kata-kata manusia. Kebenaran memilih kesunyian untuk mengantarkan pengertian tentang kebenaran itu kepada jiwa-jiwa yang dicintainya.
“Aku tahu, keheningan malam merupakan duta paling utama antara dua hati, karena mengandung amanat Cinta dan melafazkan kidung suci hati kita. Bila Tuhan yang menyaksikan jiwa kita terpenjara dalam raga, ternyata Cinta membuatku terpenjara oleh kata-kata dan ucapan.
”Mereka berkata, ‘Oh kekasih! Cinta adalah nyala yang berkobar dalam hati manusia. Sejak pertemuan kita yang pertama, aku merasa seperti telah mengenalmu lama sekali, dan pada saat berpisah, aku pun tahu, tak ada sesuatu yang mampu menceraikan kita.’”
“Pandangan pertamaku terhadapmu sebenarnya bukanlah yang pertama. Saat hati kita bertemu, membuatku yakin akan Keabadian dan kebakaan jiwa.”
“Saat seperti itu Alam menyingkap cadar dari manusia yang merasa dirinya tertekan, dan memberi amanat perihal keadilan yang Abadi.”
“Ingatkah engkau kala kita duduk di tepi anak sungai dan saling memandang, kekasih? Tahukah engkau betapa matamu berkata padaku saat itu, bahwa cintamu bukan lahir dari belas kasihan, tapi dari keadilan? Dan sekarang aku dapat menyatakan kepada dunia, bahwa anugerah yang dating dari keadilan lebih utama daripada yang mengalir dari kedermawanan.”
“Dapa pula kukatakan, bahwa Cinta yang hanya merupakan kebetulan belaka tidaklah lain dari air mandeg di rawa-rawa.”
“Kekasih! Di depanku terbentang kehidupan yang dapat kuciptakan menjadi keagungan dan keindahan; hidup yang bermula dengan pertemuan pertama kali, akan berjalan terus menuju keabadian.”
“Aku tahu, karena engkaulah aku menerima berkah kekuatan dari Tuhan, untuk dijelmakan ke dalam kata-kata dan perbuatan luhur, bahkan selagi matahari menyemerbakkan kembang-kembang di padang.”
“Karena itu, cintaku padamu akan hidup selamanya.”
Pemuda itu bangkit, berjalan lembat-lambat dan berwibawa, memintas ruangan. Melalui jendela ia memandang ke luar; tampak bulan timbul di atas cakrawala dan menyepuh langit luas dengan cahayanya yang lembut.
Ia kembali ke meja lalu menulis:
“Maafkan daku, kekasihku! Karena aku berbicara dengan menganggapmu sebagai orang kedua. Sungguh, engkau adalah belahan jiwaku, yang tak ada di dekatku sejak kta muncul dari tangan suci Tuhan. Maafkan daku, kekasihku!”
KAHLIL GIBRAN
Berjam-jam telah lewat, seakan-akan hanya sesaat mimpi indah, atau setahun pula dalam hidup keabadian.
Pemuda itu meletakkan lukisan itu di depannya, lantas mengambil pena, mencurahkan perasaannya pada kertas:
“Kekasih! Kebenaran Agung yang menguasai Alam, tak dapat disampaikan dari satu insane ke insane lain melalui kata-kata manusia. Kebenaran memilih kesunyian untuk mengantarkan pengertian tentang kebenaran itu kepada jiwa-jiwa yang dicintainya.
“Aku tahu, keheningan malam merupakan duta paling utama antara dua hati, karena mengandung amanat Cinta dan melafazkan kidung suci hati kita. Bila Tuhan yang menyaksikan jiwa kita terpenjara dalam raga, ternyata Cinta membuatku terpenjara oleh kata-kata dan ucapan.
”Mereka berkata, ‘Oh kekasih! Cinta adalah nyala yang berkobar dalam hati manusia. Sejak pertemuan kita yang pertama, aku merasa seperti telah mengenalmu lama sekali, dan pada saat berpisah, aku pun tahu, tak ada sesuatu yang mampu menceraikan kita.’”
“Pandangan pertamaku terhadapmu sebenarnya bukanlah yang pertama. Saat hati kita bertemu, membuatku yakin akan Keabadian dan kebakaan jiwa.”
“Saat seperti itu Alam menyingkap cadar dari manusia yang merasa dirinya tertekan, dan memberi amanat perihal keadilan yang Abadi.”
“Ingatkah engkau kala kita duduk di tepi anak sungai dan saling memandang, kekasih? Tahukah engkau betapa matamu berkata padaku saat itu, bahwa cintamu bukan lahir dari belas kasihan, tapi dari keadilan? Dan sekarang aku dapat menyatakan kepada dunia, bahwa anugerah yang dating dari keadilan lebih utama daripada yang mengalir dari kedermawanan.”
“Dapa pula kukatakan, bahwa Cinta yang hanya merupakan kebetulan belaka tidaklah lain dari air mandeg di rawa-rawa.”
“Kekasih! Di depanku terbentang kehidupan yang dapat kuciptakan menjadi keagungan dan keindahan; hidup yang bermula dengan pertemuan pertama kali, akan berjalan terus menuju keabadian.”
“Aku tahu, karena engkaulah aku menerima berkah kekuatan dari Tuhan, untuk dijelmakan ke dalam kata-kata dan perbuatan luhur, bahkan selagi matahari menyemerbakkan kembang-kembang di padang.”
“Karena itu, cintaku padamu akan hidup selamanya.”
Pemuda itu bangkit, berjalan lembat-lambat dan berwibawa, memintas ruangan. Melalui jendela ia memandang ke luar; tampak bulan timbul di atas cakrawala dan menyepuh langit luas dengan cahayanya yang lembut.
Ia kembali ke meja lalu menulis:
“Maafkan daku, kekasihku! Karena aku berbicara dengan menganggapmu sebagai orang kedua. Sungguh, engkau adalah belahan jiwaku, yang tak ada di dekatku sejak kta muncul dari tangan suci Tuhan. Maafkan daku, kekasihku!”
KAHLIL GIBRAN
0 komentar:
Post a Comment