Para peneliti di Itali, April 2009 kemarin merilis sebuah hasil penelitian yang menunjukkan bayi yang terlahir pada keluarga dengan bilingual habit mempunyai kecenderungan beranjak cerdas lebih cepat ketimbang bayi-bayi yang terlahir pada keluarga yang monolingual habit. Proses mendengar bunyi atau suara yang beragam dalam fase-fase tertentu dengan frequensi yang stabil membuat otak bayi terbiasa merespon, mencerna dan menterjemahkan. Bunyi atau suara dengan frequensi konstan dan stabil umumnya berasal dari suara musik dan bahasa yang berasal dari percakapan manusia. Dalam fase ini bayi mendengar, bingung kemudian mencoba menterjemahkan serta meresponnya. Untuk sementara bayi lebih banyak mendengar, menyerap bunyi dan suara. Semakin beragam bunyi dan suara yang didengar semakin banyak kosa-bunyi dan kosa-suara yang dikenalnya. Proses inilah yang membuat otak bayi terlatih dengan logika serta mengindentifikasi impuls berupa suara walaupun masih dalam taraf yang sangat sederhana.
Penelitian ini dipicu oleh kecendrungan kebanyakan orang tua di negera-negara Erofa menerapkan komunikasi monolinguistik kepada anak-anak mereka sejak bayi dengan alasan mereka khawatir dengan perkembangan berbicara pada anak. Mereka beranggapan dengan fokus pada satu bahasa mempermudah anak menguasai kosa kata dan idiom bahasa yang digunakan. Namun hasil penelitian menunjukkan kebalikannya.
Anda tentu sudah menebak mengapa saya memilih judul untuk tulisan ini. Banyak dari sebagian kita meragukan dan menganggap keberagaman budaya, suku bangsa, bahasa, agama di Indonesia merupakan suatu masalah ketimbang anugrah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sudah umum di negara kita terjadi pernikahan yang berbeda latar-belakang, baik budaya, suku-bangsa bahkan agama. Banyak dari keluarga di Indonesia menggunakan bi bahkan multilingual habit untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi disamping bahasa ibu merupakan hal yang umum dijumpai disini. Bahkan didaerah tertentu dimana penduduknya merupakan masyarakat heterogen dapat menguasai lebih dari dua bahasa dan menerapkan kebiasan tersebut dilingkungan keluarga mereka. Belum lagi aspek keagamaan yang menganjurkan penguasaan bahasa tertentu dalam beribadah menambah perbendaharaan bahasa di Indonesia.
Mengacu pada hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang terlahir di Indonesia berpotensi memiliki kecerdasan lebih dari anak-anak lain yang terlahir pada llingkungan monolingual habit. Kita boleh bangga dengan hasil penelitian ini dan menjawab keragu-raguan bahwa keberagaman yang kita punyai merupakan anugrah bukan suatu masalah.
Lantas mengapa kita masih tertinggal jauh dari kebanyakan negara-negara lain yang tidak mumpunyai kebaragaman seperti kita miliki. Mengutip perkataan seorang pujangga besar persia. Rumi dalam sebuah sajaknya berkata "sama' (mendengar/menyimak) merupakan perbuatan mulia, ibadah yang tiada tara pahalanya ketimbang engkau terlalu banyak bicara. Dengarkan apa yang dikatakan kekasih, dengarkan dan jangan berkata-kata apa-apa".
Mungkin kita terlahir lebih cerdas dari yang lain karena banyak mendengar, belajar dan menyimak. Namun ketika kita beranjak dewasa dan tua, Kita kebanyakan bicara ketimbang mendengar apalagi menyimak. [novalnd]
Anda tentu sudah menebak mengapa saya memilih judul untuk tulisan ini. Banyak dari sebagian kita meragukan dan menganggap keberagaman budaya, suku bangsa, bahasa, agama di Indonesia merupakan suatu masalah ketimbang anugrah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sudah umum di negara kita terjadi pernikahan yang berbeda latar-belakang, baik budaya, suku-bangsa bahkan agama. Banyak dari keluarga di Indonesia menggunakan bi bahkan multilingual habit untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi disamping bahasa ibu merupakan hal yang umum dijumpai disini. Bahkan didaerah tertentu dimana penduduknya merupakan masyarakat heterogen dapat menguasai lebih dari dua bahasa dan menerapkan kebiasan tersebut dilingkungan keluarga mereka. Belum lagi aspek keagamaan yang menganjurkan penguasaan bahasa tertentu dalam beribadah menambah perbendaharaan bahasa di Indonesia.
Mengacu pada hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang terlahir di Indonesia berpotensi memiliki kecerdasan lebih dari anak-anak lain yang terlahir pada llingkungan monolingual habit. Kita boleh bangga dengan hasil penelitian ini dan menjawab keragu-raguan bahwa keberagaman yang kita punyai merupakan anugrah bukan suatu masalah.
Lantas mengapa kita masih tertinggal jauh dari kebanyakan negara-negara lain yang tidak mumpunyai kebaragaman seperti kita miliki. Mengutip perkataan seorang pujangga besar persia. Rumi dalam sebuah sajaknya berkata "sama' (mendengar/menyimak) merupakan perbuatan mulia, ibadah yang tiada tara pahalanya ketimbang engkau terlalu banyak bicara. Dengarkan apa yang dikatakan kekasih, dengarkan dan jangan berkata-kata apa-apa".
Mungkin kita terlahir lebih cerdas dari yang lain karena banyak mendengar, belajar dan menyimak. Namun ketika kita beranjak dewasa dan tua, Kita kebanyakan bicara ketimbang mendengar apalagi menyimak. [novalnd]
0 komentar:
Post a Comment