Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan kontroversi mengenai status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan; dan mencoba menawarkan jalan keluar dari kontroversi itu. Kontroversi tentang status Pancasila itu sebenarnya mudah didamaikan melalui perspektif sejarah pemikiran atau ideologi. Sejak awal sejarahnya konsep ideologi memang telah diinterpretasikan dalam dua bentuk pengertian, sebagai konsepsi netral atau sebagai konsepsi kritis. Kontroversi tentang status Pancasila juga menjelaskan aspek lain, karena kedua pendapat menyarankan hal yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap Pancasila. Tulisan ini mengusulkan agar dilakukan pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif dan sebagai konsepsi politis. Akhirnya ditunjukkan manfaat mengembangkan Pancasila sebagai konsepsi politis, daripada sebagai doktrin yang komprehensif.
Pendahuluan
Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila jelas merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Kompas, 6 Desember 2001).
Armahedy Mahzar melihat Pancasila sebagai ideologi menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai bahwa Pancasila dijadikan alat untuk menciptakan industrialisasi monokultur yang berakibat terjadinya sentralisasi (www.mamienrais.com, 20 Oktober 2004). Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak bolehlagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global (Kompas, 20 Juni 2003). Franz Magnis Suseno menyatakan, ‘Pancasila….lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi’ (Kompas 28 April 2000).
Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh komentator lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo (Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut dicatat bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.
Tulisan ini akan menengahi perbedaan pendapat tersebut. Akan ditunjukkan bahwa memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami ideologi, dan karena itu ada alasan untuk bersimpati dengan mereka yang menyarankan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi. Tetapi, mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila adalah ideologi juga memiliki pembenaran dan saya akan memberikan pembelaan terhadap posisi pandangan ini. Kedua pendapat yang saling bertentangan itu sebenarnya menyarankan hal yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap Pancasila, dan saya mengusulkan pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis.
Pada bagian pertama akan dibahas ’Kesalahan Persepsi tentang Ideologi’ untuk menunjukkan kesalahapahaman pemerintah selama ini berkenaan dengan ideologi Pancasila. Pada bagian kedua, akan dibahas ‘Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila’ untuk menjelaskan mengapa ideologi penting, dan mengapa Pancasila tetap dapat dianggap sebagai ideologi. Pada akhirnya, ’Cara pandang baru terhadap Pancasila’ akan diuraikan dengan membedakan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi kefilsafatan atau doktrin yang komprehensif.
Kesalahan Persepsi tentang Ideologi
Memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami Pancasila. Pancasila telah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Salah satu ciri kekuasaan yang otoriter dimanapun adalah selalu menganggap ideologi sebagai maha penting yang berhubungan erat dengan stabilitas atau kohesi sosial. Tetapi asumsi bahwa usaha menyeragamkan ideologi penting demi menciptakan stabilitas dan memperkuat kohesi masyarakat adalah menyesatkan,
‘ideologi bekerja seperti sejenis semen sosial, yang mengikat kesatuan anggota masyarakat dengan menyediakan nilai dan norma yang dihayati secara bersama…namun meskipun asumsi ini diterima luas, asumsi ini sangat bermasalah. Terdapat sedikit bukti yang menyarankan bahwa kepercayaan dan nilai tertentu dihayati oleh semua (atau bahkan sebagian besar) anggotamasyarakat industri modern. Sebaliknya, nampak lebih mungkin bahwa masyarakat kita, sejauh ia merupakan tatanan sosial yang ‘stabil’, distabilkan oleh akibat kemajemukan nilai dan kepercayaan dan perkembangbiakan dari pembagian individu dan kelompok. Stabilitas masyarakat kita mungkin bergantung, bukan terutama pada konsensus berkenaan dengan nilai dan norma yang khusus, tetapi pada ketiadaan konsensus ketika sikap-sikap oposisi dapa diterjemahkan ke dalam tindakan politik’ (Thompson, 1984, p. 5).
Rezim totalitarian seperti Nazi Jerman, Fasisme Italia dan Jepang, dan negara-negara komunis pernah mengembangkan sejenis ideologi sekuler yang merupakan weltanschaung, yang dianggap mengatasi kehidupan bersama dan dipaksakan berlakunya melalui aparatur-aparatur negara. Ideologi itu menjadi landasan doktrin negara yang ditentukan secara otoritatif, sebagai pernyataan resmi yang seluruh warga negara berkewajiban menerimanya (Utley and McLure, 1956, p. 2).
Tetapi pengertian ideologi yang dibangun sebagai sistem pemikiran bersama (collective thought) bukan hanya monopoli rezim-rezim totalitarian dengan ideologinya yang sekuler. Disamping ideologi sekuler, juga terdapat ideologi non-sekuler, yakni ideologi keagamaan, yang merupakan konsepsi kefilsafatan atau doktrin komprehensif, yakni sumber kebenaran dan kebaikan yang lengkap dan berlaku universal (Rawls 1996, xxxviii). Dalam semua tipe masyarakat yang diperintah oleh rezim dengan pemahaman ideologi semacam ini, hak masyarakat untuk berbeda pendapat dengan pandangan yang dominan ditekan. Tetapi, sejarah justru membuktikan bahwa dalam masyarakat yang hak-haknya untuk menentang kekuasaan ditolak atas nama ketertiban dan stabilitas, hasilnya justru bukan stabilitas dan kohesi masyarakat yang kuat. Pemberontakan bersenjata, penyingkiran berdarah, konspirasi dan kekerasan yang menjalar dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain selalu terjadi—ini merupakan rekaman politik yang dapat disaksikan terutama di Jerman dan dalam hal tertentu di Jepang (Ebenstein, 1960, p. 128).
Di Indonesia, ideologi juga memiliki kecenderungan untuk dikembangkan sebagai doktrin yang komprehensif. Dua hal bisa dilihat untuk memahami hal ini, pertama, pada pemahaman tentang hubungan Pancasila dengan norma dan nilai, dan kedua, pada anggapan bahwa Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu.
Pertama, pandangan dominan yang dipercaya oleh pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai. Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya.
Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali jika ketotalan ’integralistik’ dari negara—yakni negara sebagai ’ide’ (ideologi) dan ’instrumen’ (sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu sendiri dipahami’. Implikasi dari formulasi ideologi Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat, misalnya, sejak 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut, sehingga, “cap durhaka“ itu telah meluas tak hanya tuduhan subversif sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala hal yang berbeda pendapat dengan ideologi negara (Van Langenberg, 1990, p. 123).
Menurut pandangan yang [pernah] berlaku ini, sebagai sumber nilai dan norma, Pancasila kemudian menjadi peraturan normatif masyarakat dan diusahakan agar menjadi konsensus bersama. Nilai moral yang terinternalisasi dapat menimbulkan dampak yang kuat dalam menentukan tujuan dan sarana untuk mencapainya. Pelembagaan Pancasila dalam masyarakat melalui sistem nilai yang terpusat, misalnya, melalui penataran P4, dianggap menyumbang kohesi dan stabilitas sosial, dan pada gilirannya, mengarahkan pada kesepakatan tentang aturan yang menentukan kekuasaan negara dan kegunaannya. Tetapi, formulasi bahwa ideologi Pancasila yang dipahami sebagai doktrin komprehensif dalam arti ajaran lengkap tentang bagaimana anggota-anggota masyarakat seharusnya berperilaku adalah sangat problematis. Memahami nilai dan norma sedemikian rupa sehingga seolah-olah hal itu harus ditangani secara terpusat demi menjaga kohesi sosial mengandung tiga keterbatasan, sebagaimana ditunjukkan Muthiah Alagappa.
Pertama, formulasi itu melebih-lebihkan peranan norma dalam mengatur perilaku. Tidak semua perilaku diatur oleh kepercayaan normatif. Perilaku orang sehari-hari mungkin didasarkan lebih pada kebiasaan, pragmatisme dan manfaat daripada komitmen pada tujuan normatif…Kedua, rumusan itu gagal mempertimbangkan sifat asimetri kekuasaan dan implikasinya bagi legitimasi. Kekuasaan memiliki potensi besar untuk mengabsahkan dirinya sendiri… Ketiga, penekanan pada konsensus mengaburkan kehadiran konflik dalam masyarakat. Nilai dan norma yang dialami bersama tidak semata-mata didapatkan, melainkan harus diciptakan (Alagappa, 1995, p. 15-16)
Kedua, Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu. Koentowijoyo merupakan salah satu cendekiawan yang mempercayai anggapan ini (lihat, Kompas, 21 Februari 2001; Suara Merdeka 26 Januari 2001). Sebagai ilmu Pancasila adalah filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial, dan dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial, yang juga memiliki metodologinya. Namun, pandangan semacam ini bukan tanpa kritik dan saya ingin mempertahankan inti dari kritik ini, bahwa pandangan ini dapat memperkuat ideologisasi Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif. Dalam bahasa pengkritiknya, bisa terjadi bahwa perwujudan gagasan menjadikan ’Pancasila sebagai ilmu’ tidak lain adalah Pancasila menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan menyeruak ke segenap aspek kehidupan…(Budiarto Danujaya, Kompas, 23 Juni 2004). Sebagai tambahan, ideologisasi ilmu bukan monopoli pemerintah di Indonesia, karena seorang negarawan Uni Soviet semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat secorak ideologi komunisme yang kerap disebut sebagai Marxisme ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis, yang harus menjadi haluan dan norma terakhir bagi kebenaran ilmu, politik dan moral. Jadi ’ideologi Pancasila bukan ilmu dan tidak mungkin dianggap sebagai ilmu’ (Ibid, Kompas, 23 Juni 2004).
Saya melihat bahwa ini kritik yang penting, meskipun perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud Koentowijoyo dengan menjadikan Pancasila sebagai ilmu nampaknya adalah memperlakukan Pancasila sebagai filsafat sosial. Masalahnya barangkali karena asal mula prinsip-prinsip Pancasila sendiri merupakan gabungan dari berbagai ragam aliran filsafat sosial, dan prinsip-prinsip Pancasila juga tidak menampakkan sebagai alternatif baru dari bentuk-bentuk filsafat sosial yang telah berkembang. Hal ini jelas, meskipun dalam pidatonya Soekarno menyatakan bahwa Pancasila bukan kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan, tetapi sebagian ilmuwan meragukan bahwa Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous, dengan alasan bahwa pidato Pancasila Soekarno terlihat sebagai hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah, dan dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis (Sulfikar Amir, 2004).
Kecenderungan Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif yang terlihat, pertama, pada anggapan bahwa ideologi berhubungan erat dengan stabilitas dan kohesi masyarakat, dan kedua, pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat, semuanya, pada akhirnya, akan bermuara pada atau menghasilkan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Munculnya pemerintahan elit politik yang totaliter, menurut Franz Magnis Suseno, terjadi karena kategori paham benar-salah telah diselundupkan ke dalam politik praktis (Suseno, Kompas, 28 April 2000). Pengertian negara perfeksionis juga berhubungan dengan dan memperkuat struktur masyarakat yang paternalistik, karena negara berperan sebagai patron nilai-nilai kebaikan, sehingga berkembanglah dalam negara semacam ini suatu struktur hierarkis yang menyerupai struktur keluarga, yakni Bapak atau Orang Tua merasa tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Negara komunis merupakan salah satu contoh dari bentuk perfeksionisme negara ini, karena rezim komunisme, seperti semua rezim yang didasarkan pada doktrin-doktrin komprehensif, memiliki sistem ajaran tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anggota-anggotanya masyarakatnya. Jika anda hidup dalam rezim komunis anda akan disarankan untuk menghindari kerja yang mengalienasi, misalnya, karena kerja semacam ini bukan merupakan pilihan yang ‘baik’, tetapi justru sesuatu yang harus dihindari (Kymlicka, 2004, p. 200). Tidak perlu dikatakan bahwa pandangan semacam ini pada akhirnya akan bermuara pada otoritarianisme negara. Dan inilah latarbelakang yang menjelaskan mengapa sebagian orang melihat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi.
Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila
Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi mengaburkan makna yang lebih kompleks dari konsep ideologi dan peranannya. Saya ingin menekankan bahwa yang ditolak adalah bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan pengertian ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat otoritarianisme negara. Jadi, ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar.
Marilah kita mulai dengan melihat satu fenomena menarik dalam perkembangan sejarah Pancasila. Faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami perkembangan; Ia diinterpretasikan dan bahkan diimplementasikan oleh berbagai aktor dan kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah Indonesia dengan caranya masing-masing. Eka Darmaputra mengatakan sebagai berikut :
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia…negeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem politiknya; dari yang ‘liberal’ kepada bentuk yang ‘otoriter’ dan diberi nama ‘demokrasi terpimpin’; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan militer; dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas kepada sistem mayoritas tunggal ; dari ’Orde Lama’ ke ’Orde Baru’. Perubahan-perubahan ini adalah perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Yang menarik adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila (1997).
Kenyataan ini sering diartikan, seperti dikatakan Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State Manque, dimana ’aspirasi yang satu ke aspirasi yang lain tak kunjung terpenuhi’ dan ‘bangsa Indonesia tetap saja tersandung-sandung dari satu sistem politik ke sistem politik lainnya’ (Geertz, 1973). Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai state manque ? (Pabotinggi, 1995). Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era reformasi, memang terjadi kembali perubahan yang meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian tatanan kelembagaan, meskipun demikian perubahan ini nampaknya disertai oleh kesadaran kolektif yang lebih percaya diri berkenaan dengan nilai-nilai yang melandasinya.
Karena itu, dalam melihat fenomena hubungan antara Pancasila dan perubahan-perubahan sistem politik sosial, dan ekonomi di Indonesia selama ini, penjelasannya, saya kira, sangat sederhana. Ada banyak cara yang menyebabkan orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dan kesimpulan yang berbeda-beda dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang sama. Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik munculnya “praktek“ Pancasila yang berbeda-beda di Indonesia. Tetapi, fenomena semacam ini sebenarnya berlaku umum, bukan merupakan sesuatu yang khas Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia. T.E. Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya, seseorang menerima ajaran sosial dan politik kepausan tidak berarti mengatakan bahwa orang itu niscaya mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu yang diambil langsung dari ajaran itu. Dalam kenyataannya penerimaan atas ajaran ini nampak sejalan dengan berbagai pandangan yang luas dan berbeda-beda berkenaan dengan masalah ekonomi, sosial dan konstitusional, dan sebaliknya, seseorang merupakan anggota Partai Buruh di Inggris tidak dengan sendirinya orang itu menerima semua atau sebagian besar doktrin-doktrin sosial dan ekonomi yang abstrak pada Partai itu (1956, p. 3).
Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (Routledge, London, 1995) juga memperjelas kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati sebagai sebuah doktrin yang akan menghasilkan pandangan tunggal tentang tatanan sosial, politik dan ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru Pancasila sebagai dasar negara tidak lagi dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah mengenai makna dan implikasi Pancasila bagi struktur politik dan partisipasi warga negara dalam proses politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi tertentu, yaitu ’sebagai referensi ideologi yang potensial untuk [memecahkan] masalah-masalah fundamental dalam kehidupan nasional’ (dikutip dalam Ramage, 1994, p. 166).
Tetapi mengapa ideologi penting bagi sebuah masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua hal akan saya diskusikan, pertama, sebagai bahan perbandingan, ideologi Cina. Meskipun mungkin muncul keberatan karena ideologi komunis Cina justru menyarankan otoritarianisme yang tidak sejalan dengan ideal Pancasila, perbandingan ini berguna, karena ada kemiripan, yaitu, kedua ideologi berbasis domestik, dan nampak terancam oleh penetrasi dari luar. Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengamat Cina, meskipun ideologi Cina mengalami transformasi dan bahkan mungkin mengalami krisis (sesuatu yang dirasakan oleh banyak orang juga terjadi pada Pancasila), ideologi tetap penting dalam sistem politik Cina. Kebudayaan tradisional menghargai tinggi kekuatan yang berenergi dan menyatukan dari nilai-nilai moral dan karena pengejaran atas aturan partai tunggal yang terpusat dalam sebuah negara dengan besarnya keragaman dari berbagai kepentingan yang saling bertentangan memperkuat kebutuhan akan implementasi aturan yang bersifat mengingatkan. Steven I. Levin menggarisbawahi pandangan ini dan mengatakan bahwa ’persepsi dan ideologi memainkan peranan dalam hubungan luar negeri setiap negara, dan Cina tentu saja bukan merupakan kekecualian dari aturan ini (1998, p. 45). Pandangan seperti ini
membantah anggapan yang menyatakan bahwa di luar liberalisme tidak lagi ada ideologi yang berpengaruh (Fukuyama, 1989). Pandangan para pengamat Cina yang lain seperti Doak Barnett dan Lucian Pye menyebutkan bahwa ideologi…harus diabaikan karena perilaku internasional Cina ditandai oleh ketiadaan perhatian akan konsistensi dan pragmatisme (dikutip dari Levine, 1989, p. 36). Dua contoh terakhir ini memang merayakan keruntuhan ideologi sebagai penentu nilai-nilai dan praktek sosial, tetapi kritik mengatakan bahwa perayaan itu didalam dirinya sendiri juga bersifat ideologis (Gauthier, 1997, p. 28)
Jadi, mengapa Pancasila sebagai ideologi tidak dapat ditolak, penjelasannya mirip dengan apa yang terjadi pada perkembangan ideologi komunis Cina. Seperti halnya ideologi komunis Cina, ideologi Pancasila (dan sesungguhnya juga semua ideologi) memiliki daya hidup. Ideologi penting karena dapat menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat berpikir dan berperilaku (Hook, 1976). Dengan kata lain, ideologi selalu memiliki tempat dalam kesadaran, dan arti penting ideologi dapat dipahami jika kita bisa mengenali sifat permanen dari kesadaran itu, tanpa komitmen yang merendahkannya (Gauthier, 1997, p. 28). Sebagaimana kasus ideologi komunis Cina, kesadaran ini juga berarti dua hal. Pertama, Pancasila bisa dilihat sebagai ’ideologi informal’, yaitu ’kompleks dari nilai-nilai kebudayaan, preferensi, prasangka, kecenderungan, kebiasaan dan proposisi-proposisi yang tidak dinyatakan tetapi diterima luas mengenai realitas yang mengkondisikan cara bagaimana para aktor politik berperilaku (bandingkan, Foot, 1996, p. 267: see also Levin, 1998, p. 34-). Kedua, Pancasila juga bisa dilihat sebagai ‘ideologi formal’, yang jika pada kasus ideologi komunis Cina akan menunjuk pada pemikiran Marxisme-Leninisme-Mao Zedong, maka ideologi formal Pancasila juga menunjuk pada ‘bentuk pemikiran yang sistematis dan eksplisit, diformulasikan secara masuk akal dan diartikulasikan secara baik’ (bandingkan, Levine, 1998, p. 33).
Kedua, apa yang dinamakan politik identitas barangkali juga merupakan sebagian (jika bukan seluruh) persaingan antara ideologi formal dan ideologi informal. Peran ideologi formal, misalnya, akan memperkuat klaim bahwa setiap bangsa pasti memiliki identitasnya yang unik dan karena itu identitas ini dianggap bukan ilusi. Seperti halnya individu yang pada saat tertentu dalam kehidupannya akan merefleksikan siapa dirinya, setiap masyarakat juga memiliki identitas seperti yang terkandung dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi, meskipun refleksi tentang diri sendiri ini merupakan bagian dari isi kesadaran, ideologi sebuah bangsa tidak bisa disamakan dengan isi kesadaran dalam bentuk rumusan ideologi formal, karena ada pemikiran dan aktivitas lain yang berkembang dalam masyarakat seperti nampak pada ideologi informal. Dengan kata lain, ideologi memang memberikan landasan bagi kesadaran diri seseorang, tetapi hal ini tidak menghalangi perbedaan, atau bahkan kontradiksi antara isi sub-struktur ideologi dan isi dari kesadaran yang dilahirkan (Gauthier, 1997, p. 28). Dengan demikian, tidak mungkin ada penilaian sederhana mengenai jenis elemen yang menentukan identitas nasional karena memang ada keragaman baik antar kebudayaan maupun dalam kebudayaan. Karena itu pula, identitas nasional dapat berubah dan merupakan pertentangan politik (Poole, 1999, p. 16). Meskipun demikian, ada semacam kerangka etis bagi politik identitas yang juga menjelaskan bagaimana persaingan antara ideologi formal dan ideologi formal seharusnya dikembangkan,
‘…Politik identitas tidak sama dengan penyusunan konsep identitas bangsa yang pemasyarakatannya tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut pada proses negosiasi dan renegosiasi makna’, sebaliknya, ‘politik identitas adalah refleksi yang berpangkal pada pertanyaan ‘siapakah aku, namun mengandung persoalan masyarakat dan budaya. Refleksi pada politik identitas ini bukan refleksi birokrat pemerintah atau refleksi beberapa cendikiawan yang dikumpulkan pemerintah. Refleksi ini merupakan himpunan ciptaan pada kegiatan budaya masyarakat yang tampil melalui pemikiran, teori, perdebatan, kesenian, bahkan komentar-komentar tentang isu besar di semua sektor’ (Jim Supangkat, Kompas 7 Novemper 2004, p. 17).
Uraian di atas menjelaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi tetap memiliki makna tertentu.
Pada akhirnya, perbedaan pendapat tentang apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan, sebenarnya mudah didamaikan jika kita menerima bahwa memang ada perbedaan pemahaman tentang konsep ideologi sendiri, yang dapat ditelusuri dari sejarah pemikiran. Sering disarankan bahwa salah satu cara yang baik untuk memahami ideologi adalah dengan memahami sejarah istilah itu, yaitu dengan melihat perkembangan panjang dan berliku-liku dari istilah atau konsep ini sejak dikenal pertama kali dua abad yang lalu di Eropa (lihat misalnya, Jorge Lorrain, 1979; John B,. Thompson, 1990). Konsep ideologi, menurut sejarah perkembangannya, dapat dibedakan dalam dua pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral, yaitu ketika ideologi dipahami dalam pengertian yang murni deskriptif ; sebagai sistem pemikiran (system of thought), system kepercayaan (system of belief) atau sebagai praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi dalam pengertian ini dianggap hadir dan menggerakkan tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak dipersoalkan apakah rencana atau program yang digerakkan dengan basis ideologi atau ajaran ini akan mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social order). Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis, yaitu ketika ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses mempertahankan dominasi. Dengan demikian, ideologi di sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial dan relasi kekuasaan.
Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka. Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat’ (Gauthier, p. 28)
Masalahnya memang bagaimana mengembangkan ideologi agar tidak melanggengkan dan memperkuat kekuasaan negara yang totaliter dan otoritarian. Ini merupakan pertanyaan yang akan saya bahas selanjutnya, meskipun perlu ditambahkan juga bahwa masalah yang dihadapi masyarakat modern dan majemuk seperti di Indonesia dewasa ini bukan hanya warisan otoritarianisme negara. Kita juga sedang dan akan dihadapkan pada masalah bagaimana mengembangkan masyarakat Indonesia yang adil dan stabil dengan persamaan dan kebebasan yang besar bagi seluruh warga negara yang masing-masing memiliki doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan, yang komprehensif dan masuk akal (reasonable) tetapi tidak bisa disatukan (incompatible).
Cara Pandang Baru Terhadap Pancasila
Saya telah menunjukkan bahwa problem ideologi Pancasila, yang terlihat pada menguatnya kekuasaan negara yang otoritarian, berhubungan dengan kenyataan bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang komprehensif. Doktrin yang komprehensif merujuk pada sistem ajaran yang berlaku untuk semua subyek dan kebajikan dari ajaran ini mencakup seluruh kehidupan (bandingkan, Rawls, 1996, p. xxxviii). Jadi semua doktrin yang komprehensif memiliki dua ciri penting; pertama, ia berlaku menyeluruh, dan kedua, tidak ada kebenaran lain di luar sebuah doktrin yang komprehensif yang diyakini.
Bukan pada tempatnya di sini menjelaskan mengapa dan bagaimana Pancasila berkembang menjadi sebuah doktrin yang komprehensif, meskipun barangkali perkembangan ini bisa ditelusuri sejak awal proses perumusan Pancasila, ketika identitas nasional dianggap sebagai sesuatu yang unik, seperti terlihat pada idea tentang negara integralistis yang dirumuskan Soepomo dan kemudian juga dikembangkan dengan cara tertentu baik dalam rezim Soekarno maupun Suharto (lihat, Bourchier,
1996). Terlepas dari masalah ini, jelas ada hubungan antara doktrin yang komprehensif dan penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Nampaknya memang bisa diterima bahwa jika sebuah masyarakat menegaskan secara bersama-sama salah satu doktrin moral, kefilsafatan atau keagamaan yang komprehensif, maka untuk bisa mempertahankan doktrin komprehensif itu secara terus menerus dibutuhkan penggunaan kekuataan memaksa (opresi) dari kekuasaan negara. Rawls menunjukkan satu contoh,
Pada masyarakat Barat abad pertengahan yang kurang lebih disatukan oleh kepercayaan Katolik, inkuisi bukan sesuatu yang kebetulan; dan usaha mempertahankan kepercayaan agama Katolik pada masa itu menuntut perlunya penindasan terhadap bid’ah, begitu juga sangsi kekuasaan negara juga dibutuhkan untuk bisa mempertahankan masyarakat yang memeluk doktrin komprehensif yang sekuler (non-keagamaan) seperti masyarakat yang disatukan oleh bentuk utilitarianisme atau liberalisme yang dikembangkan Immanuel Kant
dan John Stuart Mill (1997, p. 274).
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak doktrin-doktrin yang komprehensif yang hidup dalam masyarakat kita. Justru dalam semua masyarakat yang majemuk dan demokratis, keberadaan doktrin-doktrin yang komprehensif (baik moral, kefilsafatan maupun keagamaan) sudah menjadi fakta umum yang harus diterima. ’Fakta pluralisme’ (the fact of pluralism) ini merupakan ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis, bukan semata-mata kondisi historis yang kemudian akan sirna (Rawls, 1996, 1997). Maka, yang menjadi masalah bukan bagaimana meniadakan doktrindoktrin yang komprehensif itu, sebab justru dalam kondisi sosial dan politik yang melindungi kebebasan dan hak-hak dasar, keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang bertentangan akan muncul dan bertambah. Masalahnya adalah bagaimana sebuah ideologi negara dikembangkan dalam sebuah masyarakat demokratis yang modern dan majemuk yang ditandai adanya ’fakta pluralisme’ yang terlihat dalam berbagai bentuk doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan yang berbeda-beda? Yang diperlukan adalah sebuah ajaran yang dapat didukung oleh kemajemukan dari berbagai doktrin moral, kefilsafatan, dan keagamaan yang komprehensif, masing-masing dari sudut pandangnya sendiri.
Hal itu hanyalah merupakan indikasi awal dari cara pandang baru yang perlu kita pertimbangkan, dan kita perlu melihat bagaimana Pancasila sendiri telah dipahami para pendukungnya. Sejarah mencatat, sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam Konstituante terdapat dua kelompok ‘Pendukung Pancasila’ (dikutip dari Ramage 1995, p. 18); Pertama melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah common denominator dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen dan Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah kompromi politik. Kedua, menurut Nasution, adalah yang menekankan Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia. Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Prof. Soepomo, penggagas idea Integralisme.
Contoh ini menjelaskan dua cara pandang tentang Pancasila, dan dapat dipergunakan untuk memahami apakah Pancasila harus diterima sebagai konsepsi politis ataukah sebagai doktrin yang komprehensif. Jika alasan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif harus ditolak, maka pilihannya adalah menerima Pancasila sebagai konsepsi politis. Namun, penting dicatat bahwa pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan pemahaman Pancasila sebagai kesepakatan politik (political agreement), kontrak sosial, atau forum atau common denominator, (meskipun pemahaman Pancasila sebagai forum atau common denominator merupakan bagian dari Pancasila sebagai konsepsi politis), dan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak berarti menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Maka, apakah Pancasila sebagai konsepsi politis? Pancasila sebagai konsepsi politis merupakan rumpun dari nilai (moral) yang memperkuat Pancasila pada status sebagai dasar negara, dan merupakan cara pandang yang mempertimbangkan ciri khusus hubungan politik, yang memang dan harus dibedakan dari jenis hubungan yang lain. Hubungan politik memiliki sedikitnya dua ciri yang penting:
“Pertama, hubungan politis merupakan hubungan diantara orang dalam struktur dasar masyarakat…Kedua, kekuasaan politis yang dijalankan dalam hubungan politis selalu merupakan kekuasaan yang koersif, didukung oleh perlengkapan negara dalam memaksakan hukum-hukumnya… ” (dikutip dari Rawls, 1997, p.277-8)
Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memiliki wilayah (domain) yang terbatas, yaitu domain politis, yang dapat diindentifikasi oleh ciri-ciri hubungan politik itu. Pemahaman demikian akan menyarankan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis harus dibedakan dari wilayah asosiasi, yang memang bersifat sukarela, dan harus dibedakan dari kehidupan pribadi (privat) atau keluarga, yang merupakan wilayah kasih sayang. Dengan mengambil pengertian ‘yang politis’ sebagai domain Pancasila, konsepsi politis menerima prinsip-prinsip Pancasila sebagai satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan ’pandangan yang berdiri sendiri’ (free standing view). Prinsip-prinsip ini membentuk pandangan tentang negara, tetapi pandangan ini dibentuk secara independen dari nilai-nilai yang bersifat non-politis atau dengan setiap hubungan khusus dengan yang non-politis itu.
Maka, sebagai sebuah konsepsi politis, Pancasila tidak menyangkal nilai-nilai atau paham lain yang berlaku pada asosiasi (keagamaan, universitas, LSM dsb), keluarga, atau orang per-orang; Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak mengatakan bahwa pengertian yang (bersifat) politis sama sekali terpisah dari semua nilai atau paham lain yang ada dalam masyarakat. Tujuan menempatkan Pancasila dalam domain politis ini, tentu saja, adalah untuk menentukan bahwa institusi dan struktur kenegaraan dapat memperoleh dukungan dari konsensus yang saling melengkapi (overlapping consensus) diantara berbagai aktor politik dan kekuasaan sosial, sebagaimana nampak dan pernah terjadi pada penerimaan Pancasila sebagai ‘titik temu’ (common denominator) dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia.
Dalam diskusi sering timbul kesalahpahaman tentang pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis. Pertama, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan Pancasila sebagai konsensus politik, sebuah pengertian yang oleh Onghokham juga dipergunakan sebagai justifikasi untuk menyebut Pancasila sebagai kontrak sosial (Kompas, 6 Desember 2001). Pancasila sebagai konsepsi politis lebih dari sekadar konsensus politik, karena mewakili rumpun dari nilai-nilai (moral) politik yang berbeda dengan Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif. Menurut saya, Pancasila juga tidak tepat disebut sebagai kontrak sosial, bukan hanya karena teori kontrak sosial sendiri problematis, tetapi juga pembentukan Pancasila sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kontrak sosial.
Kedua, hubungan antara tindakan privat (non-politis) dan tindakan publik (politis) dalam konteks Pancasila sebagai konsepsi politis perlu mendapat penjelasan tersendiri. Karena Pancasila sebagai konsepsi politis membatasi domain Pancasila hanya pada hubungan-hubungan politis, maka Pancasila hanya berlaku pada struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembaga-lembaga politik, ekonomi dan sosial sebagai kesatuan skema kerjasama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Jikapun Pancasila berlaku pada individu, maka ini hanya dalam kapasitas publik sebagai warga negara, bukan dalam kapasitas privat mereka sebagai individu dengan konsepsi kebaikan komprehensif mereka sendiri. Untuk memperjelas hal ini, saya ingin menunjukkan sebuah ilustrasi dengan mengutip pertanyaan yang diajukan oleh Sidney Hook (Hook, 1976, p. 78) bahwa ’‘sekiranya ada orang Indonesia berkata: saya tidak percaya bahwa benda ada, saya kira hanya jiwa yang ada’, maka apa pengaruh dari konsepsi metafisika realitas terakhir itu atas tingkah laku politik dan dapatkah dia merupakan seorang Indonesia yang baik sebagaimana orang lain yang mempunyai
kepercayaan bahwa bendalah yang merupakan realitas terakhir’’? Pancasila sebagai konsepsi politis mudah menjawab pertanyaan ini, karena setiap individu (atau sesungguhnya juga semua asosiasi (keagamaan, universitas dan LSM dsb), maupun kehidupan keluarga) harus dibiarkan bebas memiliki konsepsinya sendiri tentang kebaikan itu. Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memang dimaksudkan untuk menghindarkan Pancasila terbawa pada kontroversi yang dalam dan yang memang selalu ada dalam filsafat dan agama, serta dalam cakupan teori-teori moral yang luas yang diharapkan berlaku pada individu maupun lembaga.
Ketiga, sering juga dipertanyakan bagaimana kemudian kesepakatan atau konsensus dalam hal-hal fundamental dalam kehidupan bernegara tercapai. Pertanyaan ini muncul karena meskipun mudah menegaskan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis akan memperkuat status Pancasila sebagai dasar negara, tetapi selalu terdapat kemungkinan alternatif pilihan bagi kebijakan yang menentukan bentuk tatanan politik, sosial dan ekonomi yang berbeda. Di sini, saya hanya bisa mengutip pendapat yang membedakan dua cara untuk mencapai pemahaman bersama dan untuk menciptakan
sintesis yang diterima semua warga negara; pertama, adalah konsensus meta-ontologis, yang terdiri dari pengakuan atas konsensus yang terbukti secara keilmuan, dan kedua, konsensus melalui diskursus rasional, yang terdiri dari kesepakatan berkenaan dengan ‘makna dan pengertian dari semua pandangan dunia yang berlainan’ (Jankowski, 2003, p. 168). Tetapi karena dalam menghadapi isu-isu yang pelik dan kontroversial selalu ada beban-penalaran (the burden of reason), yaitu batas kemampuan manusia untuk menilai kebenaran dan kesimpulan dari berbagai pandangan yang saling bertentangan, maka jelas tidak ada cara untuk membuktikan bahwa yang paling masuk adalah mengadopsi doktrin yang komprehensif yang satu atau doktrin komprehensif yang lain. Hal ini akan berarti bahwa, dalam konteks menentukan berbagai pilihan kebijakan, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak mungkin mengabsolutkan sebuah pilihan kebijakan hanya berdasarkan pada salah satu filsafat sosial, melainkan harus membuka diri pada berbagai ragam dan jenis filsafat sosial lain. Kuncinya mungkin akan terletak pada kemampuan penalaran publik (public reason) untuk menilai berbagai pilihan kebijakan, dan karena itu pendidikan publik yang bebas dari hegemoni merupakan kebutuhan yang niscaya bagi pendekatan Pancasila sebagai konsensus
politis. Inilah pengertian penting dari Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus dikembangkan oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan.
Kita sekarang dapat menyebutkan sejumlah manfaat dari Pancasila sebagai konsepsi politis:
1. Pancasila sebagai konsepsi politis menawarkan jalan keluar bagi usaha menghindari otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan ‘pluralisme’ sebagai ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis di Indonesia. (Sebagai konsepsi politis, Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa (koersif) sebagaimana terjadi pada kasus ideologi sebagai doktrin yang komprehensif, karena konsepsi politis tidak beranggapan menerima doktrin komprehensif tertentu, sebaliknya, sebagai sebuah konsepsi politis Pancasila menghormati keberadaan doktrin-doktrin komprehensif, dan ini akan menghasilkan kesatuan (kohesi) sosial akibat dukungan yang diperoleh dari keragaman (diversity) doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat).
2. Pancasila sebagai konsepsi politis memberikan jalan keluar dari kesulitan yang ada selama ini tentang jarak (diskrepansi) atau ketidakjelasan (yang sering dianggap sebagai masalah) antara ajaran Pancasila dan perkembangan sosial, politik dan ekonomi. (Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada domain politis (struktur dasar masyarakat) dari kehidupan bernegara; sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara).
3. Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara, dan bersamaan dengan itu juga memperkuat gagasan fundamental tentang Pancasila sebagai dasar negara. (Gagasan fundamental tentang dasar negara ini tidak lain adalah gagasan tentang ‘arti penting konstitusional’ (constitutional essentials), yaitu prinsip-prinsip fundamental yang menentukan struktur dari proses politik—kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan, dan juga kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum. Jika Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memberikan kerangka prinsip-prinsip dan nilai yang masuk akal untuk memecahkan masalahmasalah yang berhubungan dengan arti penting konstitusional (constitutional essentials) ini, maka besar kemungkinan bahwa keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat akan mendukungnya).
Kesimpulan
Sejumlah hal ingin saya kemukakan untuk menutup diskusi ini. Pertama, cara saya “mendamaikan“ dua pendapat yang bertentangan tentang status Pancasila mungkin akan mendapat tanggapan dari mereka yang mengenal prinsip logika; setidaknya, menurut logika, jika ada dua hal yang bertentangan, maka hanya satu yang mungkin benar; ada kemungkinan keduanya salah tetapi tidak mungkin kedua-duanya benar.
Namun, dalam kasus pertentangan pendapat tentang status ideologi Pancasila itu, pendekatan yang saya kembangkan tidak menentang hukum logika ini, sebab yang saya lakukan adalah menarik inferensi dari kekuranglengkapan logika yang melandasi masing-masing posisi ini. Posisi mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila bukan ideologi mengandung kebenaran tetapi kurang lengkap karena mengabaikan pertimbangan makna positif atau netral dari ideologi, sebaliknya, posisi mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila merupakan ideologi mengabaikan pertimbangan makna negatif atau kritis dari ideologi.
Kedua, pertentangan pendapat tentang status Pancasila itu justru penting dan menarik dipahami karena memberikan petunjuk tentang cara pandang baru terhadap Pancasila; seperti yang sudah saya jelaskan, Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif yang pernah berkembang selama ini rupa-rupanya telah semakin disadari berbahaya karena dapat memperkuat otoriarianisme negara. Menurut saya, pandangan ini benar, dan pilihan yang tersedia adalah menjadikan Pancasila sebagai konsepsi politis. Saya sendiri merasa bahwa Pancasila sebagai sebuah konsepsi politis sudah dengan sendirinya sangat bermakna, yaitu untuk keluar dari kebuntuan selama ini tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan Pancasila yang oleh banyak kalangan dianggap mengalami kemerosotan makna. [Agus Wahyudi, Kepala Pusat Studi Pancasila dan dosen Fakultas Filsafat UGM]
Daftar Bacaan
Asvi Warman Adam, “Betul, Soekarno Penggali Pancasila”, Kompas, 1 Juni 2004
Bourchier, David, The Lineages of Organistic Thought in Indonesia, Phd Thesis,
Monash University, Melbourne, 1996
Budiarto Danujaya, “Reinventing Ideology”, Kompas, 23 Juni 2004
Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya, PT
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997
Foot, Rosemary, “The Study of China’s International Behaviors: International Relations
Approaches”, in Woods, Ngaire (ed.), Explaining International Relations since 1945,
Oxford University Press, Oxford, 1996, pp. 259-279
Fukuyama, Francis, “The End of History?”, The National Interest, 16, Summer, 1989,
pp. 3-18
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture: Selected Essays, Basic Books, New
York, 1973
Gauthier, David, “The Social Contract as Ideology”, in Contemporery Political
Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit (eds), Blackwell,
Oxford, 1997, pp. 27-44
Hook, Sidney, ‘Ideologi’, dalam Percakapan dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah
Filsafat, Harsya W. Bachtiar (ed.,) Penerbit Djambatan, Jakarta, 1980
Jim Supangkat, “Kebudayaan, Modernitas dan Politik Identitas“, Kompas 7 Novemper
2004, p. 17
Jankowski, Michael C., “Universalism as the Quest for Synthesis and Two Limitations
Indicated by The Political Liberalism of John Rawls”, Dialogue and Universalism, No.
3-4, 2003, pp. 167-170
Koentowijoyo, “Objektivikasi, Agenda Reformasi Ideologi“, Kompas, 13 Juli 1999
Koentowijoyo, “Radikalisasi Pancasila “, Kompas, 20 Februari 2004
Koentowijoyo, “Objektivikasi, Memotong Mata Rantai Dikotomi“, Kompas, 04 Maret
2004
17
Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosophy, An Introduction, Clarendon Press,
Oxford, 1990
Levine, Steven I, “Perception and Ideology in Chinese Foreign Policy”, in Chinese
Foreign Policy: Theory and Practice, Thomas W. Robinson and David Shambaugh
(eds), Clarendon Press, Oxford, 1998, pp. 30-46
Lorraine, Jorge, Konsep Ideologi,[terjemahan], LPKSM, Yogyakarta, 1996
Musa Asy’arie, “Pancasila, Pemilu dan Integrasi Bangsa“, Kompas, 12 Juni 2004
Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1972
NN, “Dari Dikusi Dwimingguan ARC: Dimanipulasi Oleh Dua Rezim, Pancasila harus
direvitalisasi”, [http://www.m-amienrais.com], [date last update: 20 oktober 2004]
NN, “Jangan Pernah Serahkan Negara pada Ideologi Mana pun“, Kompas, 28 April
2000
NN, “Pendidikan Pancasila dan Kewiraan Gagal Sosialisasikan Demokrasi“, Kompas,
18 Oktober 2001
NN, “Bangsa Indonesia Belum Miliki Identitas Kebudayaan“, Kompas, 28 Juni 2002
Poole, Ross, Nation and Identity, Routledge, London, 1999
NN, “Nilai-Nilai Pancasila Perlu Mengalami Transformasi“, Kompas, 20 Juni 2003
NN, “Faktor Integratif Bangsa Alami Kemerosotan“, Kompas, 9 Juni 2004
Onghokham, “Pancasila sebagai Kontrak Sosial”, Kompas, 6 Desember 2001
Pabotinggi, Mochtar, “Indonesia: Historicizing the New Order’s Legitimazy Dilemma”,
in Political Legitimacy in Southeast Asia: Quest for Moral Authority, Muthiah
Alagappa (ed.), Stanford University Press, California, 1995, pp. 244-256
Poole, Ross, Nation and Identity, Routledge, London, 1999
Ramage, Douglas E., “Pancasila Discourse in Suharto’s Late New Order”, in
Democracy in Indonesia 1950s and 1990s, David Bourchier and John Legge (eds),
Monash University, Victoria, 1994
18
Ramage, Douglas E., Politics in Indonesia, Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance, Routledge, London, 1995
Rawls, John, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, 1996
Rawls, John, “The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, in
Contemporery Political Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit
(eds), Blackwell, Oxford, 1997, pp. 273-287
Sayidiman Suryohadiprojo, “Rejuvenasi Pancasila”, Kompas, 23 Juni 2004
Sulfikar Amir, “Epistemologi Pancasila”, Kompas, Rabu 3 Nopember 2004
Suparto, ”Revitalisasi Pancasila, Dekonstruksi Ideologi Nasional”, Kompas, 1 Oktober
2004
Thompson, John B., Studies in the Theory of Ideology, University California Press,
Berkeley, 1984
Utley, T.E. and J. Stuart McLure, J., Documents of Modern Political Thought,
Cambridge University Press, London, 1957
Van Langenberg, Michael, “The New Order State: Language, Ideology and Hegemony,
in Arif Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Center of Southeast Asian
Studies, Monash University, 1990, pp. 121-149
sumber: maulanusantara
Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila jelas merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Kompas, 6 Desember 2001).
Armahedy Mahzar melihat Pancasila sebagai ideologi menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai bahwa Pancasila dijadikan alat untuk menciptakan industrialisasi monokultur yang berakibat terjadinya sentralisasi (www.mamienrais.com, 20 Oktober 2004). Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak bolehlagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global (Kompas, 20 Juni 2003). Franz Magnis Suseno menyatakan, ‘Pancasila….lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi’ (Kompas 28 April 2000).
Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh komentator lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo (Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut dicatat bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.
Tulisan ini akan menengahi perbedaan pendapat tersebut. Akan ditunjukkan bahwa memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami ideologi, dan karena itu ada alasan untuk bersimpati dengan mereka yang menyarankan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi. Tetapi, mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila adalah ideologi juga memiliki pembenaran dan saya akan memberikan pembelaan terhadap posisi pandangan ini. Kedua pendapat yang saling bertentangan itu sebenarnya menyarankan hal yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap Pancasila, dan saya mengusulkan pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis.
Pada bagian pertama akan dibahas ’Kesalahan Persepsi tentang Ideologi’ untuk menunjukkan kesalahapahaman pemerintah selama ini berkenaan dengan ideologi Pancasila. Pada bagian kedua, akan dibahas ‘Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila’ untuk menjelaskan mengapa ideologi penting, dan mengapa Pancasila tetap dapat dianggap sebagai ideologi. Pada akhirnya, ’Cara pandang baru terhadap Pancasila’ akan diuraikan dengan membedakan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi kefilsafatan atau doktrin yang komprehensif.
Kesalahan Persepsi tentang Ideologi
Memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami Pancasila. Pancasila telah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Salah satu ciri kekuasaan yang otoriter dimanapun adalah selalu menganggap ideologi sebagai maha penting yang berhubungan erat dengan stabilitas atau kohesi sosial. Tetapi asumsi bahwa usaha menyeragamkan ideologi penting demi menciptakan stabilitas dan memperkuat kohesi masyarakat adalah menyesatkan,
‘ideologi bekerja seperti sejenis semen sosial, yang mengikat kesatuan anggota masyarakat dengan menyediakan nilai dan norma yang dihayati secara bersama…namun meskipun asumsi ini diterima luas, asumsi ini sangat bermasalah. Terdapat sedikit bukti yang menyarankan bahwa kepercayaan dan nilai tertentu dihayati oleh semua (atau bahkan sebagian besar) anggotamasyarakat industri modern. Sebaliknya, nampak lebih mungkin bahwa masyarakat kita, sejauh ia merupakan tatanan sosial yang ‘stabil’, distabilkan oleh akibat kemajemukan nilai dan kepercayaan dan perkembangbiakan dari pembagian individu dan kelompok. Stabilitas masyarakat kita mungkin bergantung, bukan terutama pada konsensus berkenaan dengan nilai dan norma yang khusus, tetapi pada ketiadaan konsensus ketika sikap-sikap oposisi dapa diterjemahkan ke dalam tindakan politik’ (Thompson, 1984, p. 5).
Rezim totalitarian seperti Nazi Jerman, Fasisme Italia dan Jepang, dan negara-negara komunis pernah mengembangkan sejenis ideologi sekuler yang merupakan weltanschaung, yang dianggap mengatasi kehidupan bersama dan dipaksakan berlakunya melalui aparatur-aparatur negara. Ideologi itu menjadi landasan doktrin negara yang ditentukan secara otoritatif, sebagai pernyataan resmi yang seluruh warga negara berkewajiban menerimanya (Utley and McLure, 1956, p. 2).
Tetapi pengertian ideologi yang dibangun sebagai sistem pemikiran bersama (collective thought) bukan hanya monopoli rezim-rezim totalitarian dengan ideologinya yang sekuler. Disamping ideologi sekuler, juga terdapat ideologi non-sekuler, yakni ideologi keagamaan, yang merupakan konsepsi kefilsafatan atau doktrin komprehensif, yakni sumber kebenaran dan kebaikan yang lengkap dan berlaku universal (Rawls 1996, xxxviii). Dalam semua tipe masyarakat yang diperintah oleh rezim dengan pemahaman ideologi semacam ini, hak masyarakat untuk berbeda pendapat dengan pandangan yang dominan ditekan. Tetapi, sejarah justru membuktikan bahwa dalam masyarakat yang hak-haknya untuk menentang kekuasaan ditolak atas nama ketertiban dan stabilitas, hasilnya justru bukan stabilitas dan kohesi masyarakat yang kuat. Pemberontakan bersenjata, penyingkiran berdarah, konspirasi dan kekerasan yang menjalar dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain selalu terjadi—ini merupakan rekaman politik yang dapat disaksikan terutama di Jerman dan dalam hal tertentu di Jepang (Ebenstein, 1960, p. 128).
Di Indonesia, ideologi juga memiliki kecenderungan untuk dikembangkan sebagai doktrin yang komprehensif. Dua hal bisa dilihat untuk memahami hal ini, pertama, pada pemahaman tentang hubungan Pancasila dengan norma dan nilai, dan kedua, pada anggapan bahwa Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu.
Pertama, pandangan dominan yang dipercaya oleh pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai. Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya.
Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali jika ketotalan ’integralistik’ dari negara—yakni negara sebagai ’ide’ (ideologi) dan ’instrumen’ (sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu sendiri dipahami’. Implikasi dari formulasi ideologi Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat, misalnya, sejak 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut, sehingga, “cap durhaka“ itu telah meluas tak hanya tuduhan subversif sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala hal yang berbeda pendapat dengan ideologi negara (Van Langenberg, 1990, p. 123).
Menurut pandangan yang [pernah] berlaku ini, sebagai sumber nilai dan norma, Pancasila kemudian menjadi peraturan normatif masyarakat dan diusahakan agar menjadi konsensus bersama. Nilai moral yang terinternalisasi dapat menimbulkan dampak yang kuat dalam menentukan tujuan dan sarana untuk mencapainya. Pelembagaan Pancasila dalam masyarakat melalui sistem nilai yang terpusat, misalnya, melalui penataran P4, dianggap menyumbang kohesi dan stabilitas sosial, dan pada gilirannya, mengarahkan pada kesepakatan tentang aturan yang menentukan kekuasaan negara dan kegunaannya. Tetapi, formulasi bahwa ideologi Pancasila yang dipahami sebagai doktrin komprehensif dalam arti ajaran lengkap tentang bagaimana anggota-anggota masyarakat seharusnya berperilaku adalah sangat problematis. Memahami nilai dan norma sedemikian rupa sehingga seolah-olah hal itu harus ditangani secara terpusat demi menjaga kohesi sosial mengandung tiga keterbatasan, sebagaimana ditunjukkan Muthiah Alagappa.
Pertama, formulasi itu melebih-lebihkan peranan norma dalam mengatur perilaku. Tidak semua perilaku diatur oleh kepercayaan normatif. Perilaku orang sehari-hari mungkin didasarkan lebih pada kebiasaan, pragmatisme dan manfaat daripada komitmen pada tujuan normatif…Kedua, rumusan itu gagal mempertimbangkan sifat asimetri kekuasaan dan implikasinya bagi legitimasi. Kekuasaan memiliki potensi besar untuk mengabsahkan dirinya sendiri… Ketiga, penekanan pada konsensus mengaburkan kehadiran konflik dalam masyarakat. Nilai dan norma yang dialami bersama tidak semata-mata didapatkan, melainkan harus diciptakan (Alagappa, 1995, p. 15-16)
Kedua, Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu. Koentowijoyo merupakan salah satu cendekiawan yang mempercayai anggapan ini (lihat, Kompas, 21 Februari 2001; Suara Merdeka 26 Januari 2001). Sebagai ilmu Pancasila adalah filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial, dan dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial, yang juga memiliki metodologinya. Namun, pandangan semacam ini bukan tanpa kritik dan saya ingin mempertahankan inti dari kritik ini, bahwa pandangan ini dapat memperkuat ideologisasi Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif. Dalam bahasa pengkritiknya, bisa terjadi bahwa perwujudan gagasan menjadikan ’Pancasila sebagai ilmu’ tidak lain adalah Pancasila menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan menyeruak ke segenap aspek kehidupan…(Budiarto Danujaya, Kompas, 23 Juni 2004). Sebagai tambahan, ideologisasi ilmu bukan monopoli pemerintah di Indonesia, karena seorang negarawan Uni Soviet semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat secorak ideologi komunisme yang kerap disebut sebagai Marxisme ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis, yang harus menjadi haluan dan norma terakhir bagi kebenaran ilmu, politik dan moral. Jadi ’ideologi Pancasila bukan ilmu dan tidak mungkin dianggap sebagai ilmu’ (Ibid, Kompas, 23 Juni 2004).
Saya melihat bahwa ini kritik yang penting, meskipun perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud Koentowijoyo dengan menjadikan Pancasila sebagai ilmu nampaknya adalah memperlakukan Pancasila sebagai filsafat sosial. Masalahnya barangkali karena asal mula prinsip-prinsip Pancasila sendiri merupakan gabungan dari berbagai ragam aliran filsafat sosial, dan prinsip-prinsip Pancasila juga tidak menampakkan sebagai alternatif baru dari bentuk-bentuk filsafat sosial yang telah berkembang. Hal ini jelas, meskipun dalam pidatonya Soekarno menyatakan bahwa Pancasila bukan kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan, tetapi sebagian ilmuwan meragukan bahwa Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous, dengan alasan bahwa pidato Pancasila Soekarno terlihat sebagai hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah, dan dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis (Sulfikar Amir, 2004).
Kecenderungan Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif yang terlihat, pertama, pada anggapan bahwa ideologi berhubungan erat dengan stabilitas dan kohesi masyarakat, dan kedua, pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat, semuanya, pada akhirnya, akan bermuara pada atau menghasilkan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Munculnya pemerintahan elit politik yang totaliter, menurut Franz Magnis Suseno, terjadi karena kategori paham benar-salah telah diselundupkan ke dalam politik praktis (Suseno, Kompas, 28 April 2000). Pengertian negara perfeksionis juga berhubungan dengan dan memperkuat struktur masyarakat yang paternalistik, karena negara berperan sebagai patron nilai-nilai kebaikan, sehingga berkembanglah dalam negara semacam ini suatu struktur hierarkis yang menyerupai struktur keluarga, yakni Bapak atau Orang Tua merasa tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Negara komunis merupakan salah satu contoh dari bentuk perfeksionisme negara ini, karena rezim komunisme, seperti semua rezim yang didasarkan pada doktrin-doktrin komprehensif, memiliki sistem ajaran tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anggota-anggotanya masyarakatnya. Jika anda hidup dalam rezim komunis anda akan disarankan untuk menghindari kerja yang mengalienasi, misalnya, karena kerja semacam ini bukan merupakan pilihan yang ‘baik’, tetapi justru sesuatu yang harus dihindari (Kymlicka, 2004, p. 200). Tidak perlu dikatakan bahwa pandangan semacam ini pada akhirnya akan bermuara pada otoritarianisme negara. Dan inilah latarbelakang yang menjelaskan mengapa sebagian orang melihat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi.
Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila
Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi mengaburkan makna yang lebih kompleks dari konsep ideologi dan peranannya. Saya ingin menekankan bahwa yang ditolak adalah bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan pengertian ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat otoritarianisme negara. Jadi, ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar.
Marilah kita mulai dengan melihat satu fenomena menarik dalam perkembangan sejarah Pancasila. Faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami perkembangan; Ia diinterpretasikan dan bahkan diimplementasikan oleh berbagai aktor dan kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah Indonesia dengan caranya masing-masing. Eka Darmaputra mengatakan sebagai berikut :
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia…negeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem politiknya; dari yang ‘liberal’ kepada bentuk yang ‘otoriter’ dan diberi nama ‘demokrasi terpimpin’; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan militer; dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas kepada sistem mayoritas tunggal ; dari ’Orde Lama’ ke ’Orde Baru’. Perubahan-perubahan ini adalah perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Yang menarik adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila (1997).
Kenyataan ini sering diartikan, seperti dikatakan Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State Manque, dimana ’aspirasi yang satu ke aspirasi yang lain tak kunjung terpenuhi’ dan ‘bangsa Indonesia tetap saja tersandung-sandung dari satu sistem politik ke sistem politik lainnya’ (Geertz, 1973). Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai state manque ? (Pabotinggi, 1995). Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era reformasi, memang terjadi kembali perubahan yang meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian tatanan kelembagaan, meskipun demikian perubahan ini nampaknya disertai oleh kesadaran kolektif yang lebih percaya diri berkenaan dengan nilai-nilai yang melandasinya.
Karena itu, dalam melihat fenomena hubungan antara Pancasila dan perubahan-perubahan sistem politik sosial, dan ekonomi di Indonesia selama ini, penjelasannya, saya kira, sangat sederhana. Ada banyak cara yang menyebabkan orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dan kesimpulan yang berbeda-beda dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang sama. Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik munculnya “praktek“ Pancasila yang berbeda-beda di Indonesia. Tetapi, fenomena semacam ini sebenarnya berlaku umum, bukan merupakan sesuatu yang khas Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia. T.E. Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya, seseorang menerima ajaran sosial dan politik kepausan tidak berarti mengatakan bahwa orang itu niscaya mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu yang diambil langsung dari ajaran itu. Dalam kenyataannya penerimaan atas ajaran ini nampak sejalan dengan berbagai pandangan yang luas dan berbeda-beda berkenaan dengan masalah ekonomi, sosial dan konstitusional, dan sebaliknya, seseorang merupakan anggota Partai Buruh di Inggris tidak dengan sendirinya orang itu menerima semua atau sebagian besar doktrin-doktrin sosial dan ekonomi yang abstrak pada Partai itu (1956, p. 3).
Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (Routledge, London, 1995) juga memperjelas kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati sebagai sebuah doktrin yang akan menghasilkan pandangan tunggal tentang tatanan sosial, politik dan ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru Pancasila sebagai dasar negara tidak lagi dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah mengenai makna dan implikasi Pancasila bagi struktur politik dan partisipasi warga negara dalam proses politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi tertentu, yaitu ’sebagai referensi ideologi yang potensial untuk [memecahkan] masalah-masalah fundamental dalam kehidupan nasional’ (dikutip dalam Ramage, 1994, p. 166).
Tetapi mengapa ideologi penting bagi sebuah masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua hal akan saya diskusikan, pertama, sebagai bahan perbandingan, ideologi Cina. Meskipun mungkin muncul keberatan karena ideologi komunis Cina justru menyarankan otoritarianisme yang tidak sejalan dengan ideal Pancasila, perbandingan ini berguna, karena ada kemiripan, yaitu, kedua ideologi berbasis domestik, dan nampak terancam oleh penetrasi dari luar. Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengamat Cina, meskipun ideologi Cina mengalami transformasi dan bahkan mungkin mengalami krisis (sesuatu yang dirasakan oleh banyak orang juga terjadi pada Pancasila), ideologi tetap penting dalam sistem politik Cina. Kebudayaan tradisional menghargai tinggi kekuatan yang berenergi dan menyatukan dari nilai-nilai moral dan karena pengejaran atas aturan partai tunggal yang terpusat dalam sebuah negara dengan besarnya keragaman dari berbagai kepentingan yang saling bertentangan memperkuat kebutuhan akan implementasi aturan yang bersifat mengingatkan. Steven I. Levin menggarisbawahi pandangan ini dan mengatakan bahwa ’persepsi dan ideologi memainkan peranan dalam hubungan luar negeri setiap negara, dan Cina tentu saja bukan merupakan kekecualian dari aturan ini (1998, p. 45). Pandangan seperti ini
membantah anggapan yang menyatakan bahwa di luar liberalisme tidak lagi ada ideologi yang berpengaruh (Fukuyama, 1989). Pandangan para pengamat Cina yang lain seperti Doak Barnett dan Lucian Pye menyebutkan bahwa ideologi…harus diabaikan karena perilaku internasional Cina ditandai oleh ketiadaan perhatian akan konsistensi dan pragmatisme (dikutip dari Levine, 1989, p. 36). Dua contoh terakhir ini memang merayakan keruntuhan ideologi sebagai penentu nilai-nilai dan praktek sosial, tetapi kritik mengatakan bahwa perayaan itu didalam dirinya sendiri juga bersifat ideologis (Gauthier, 1997, p. 28)
Jadi, mengapa Pancasila sebagai ideologi tidak dapat ditolak, penjelasannya mirip dengan apa yang terjadi pada perkembangan ideologi komunis Cina. Seperti halnya ideologi komunis Cina, ideologi Pancasila (dan sesungguhnya juga semua ideologi) memiliki daya hidup. Ideologi penting karena dapat menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat berpikir dan berperilaku (Hook, 1976). Dengan kata lain, ideologi selalu memiliki tempat dalam kesadaran, dan arti penting ideologi dapat dipahami jika kita bisa mengenali sifat permanen dari kesadaran itu, tanpa komitmen yang merendahkannya (Gauthier, 1997, p. 28). Sebagaimana kasus ideologi komunis Cina, kesadaran ini juga berarti dua hal. Pertama, Pancasila bisa dilihat sebagai ’ideologi informal’, yaitu ’kompleks dari nilai-nilai kebudayaan, preferensi, prasangka, kecenderungan, kebiasaan dan proposisi-proposisi yang tidak dinyatakan tetapi diterima luas mengenai realitas yang mengkondisikan cara bagaimana para aktor politik berperilaku (bandingkan, Foot, 1996, p. 267: see also Levin, 1998, p. 34-). Kedua, Pancasila juga bisa dilihat sebagai ‘ideologi formal’, yang jika pada kasus ideologi komunis Cina akan menunjuk pada pemikiran Marxisme-Leninisme-Mao Zedong, maka ideologi formal Pancasila juga menunjuk pada ‘bentuk pemikiran yang sistematis dan eksplisit, diformulasikan secara masuk akal dan diartikulasikan secara baik’ (bandingkan, Levine, 1998, p. 33).
Kedua, apa yang dinamakan politik identitas barangkali juga merupakan sebagian (jika bukan seluruh) persaingan antara ideologi formal dan ideologi informal. Peran ideologi formal, misalnya, akan memperkuat klaim bahwa setiap bangsa pasti memiliki identitasnya yang unik dan karena itu identitas ini dianggap bukan ilusi. Seperti halnya individu yang pada saat tertentu dalam kehidupannya akan merefleksikan siapa dirinya, setiap masyarakat juga memiliki identitas seperti yang terkandung dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi, meskipun refleksi tentang diri sendiri ini merupakan bagian dari isi kesadaran, ideologi sebuah bangsa tidak bisa disamakan dengan isi kesadaran dalam bentuk rumusan ideologi formal, karena ada pemikiran dan aktivitas lain yang berkembang dalam masyarakat seperti nampak pada ideologi informal. Dengan kata lain, ideologi memang memberikan landasan bagi kesadaran diri seseorang, tetapi hal ini tidak menghalangi perbedaan, atau bahkan kontradiksi antara isi sub-struktur ideologi dan isi dari kesadaran yang dilahirkan (Gauthier, 1997, p. 28). Dengan demikian, tidak mungkin ada penilaian sederhana mengenai jenis elemen yang menentukan identitas nasional karena memang ada keragaman baik antar kebudayaan maupun dalam kebudayaan. Karena itu pula, identitas nasional dapat berubah dan merupakan pertentangan politik (Poole, 1999, p. 16). Meskipun demikian, ada semacam kerangka etis bagi politik identitas yang juga menjelaskan bagaimana persaingan antara ideologi formal dan ideologi formal seharusnya dikembangkan,
‘…Politik identitas tidak sama dengan penyusunan konsep identitas bangsa yang pemasyarakatannya tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut pada proses negosiasi dan renegosiasi makna’, sebaliknya, ‘politik identitas adalah refleksi yang berpangkal pada pertanyaan ‘siapakah aku, namun mengandung persoalan masyarakat dan budaya. Refleksi pada politik identitas ini bukan refleksi birokrat pemerintah atau refleksi beberapa cendikiawan yang dikumpulkan pemerintah. Refleksi ini merupakan himpunan ciptaan pada kegiatan budaya masyarakat yang tampil melalui pemikiran, teori, perdebatan, kesenian, bahkan komentar-komentar tentang isu besar di semua sektor’ (Jim Supangkat, Kompas 7 Novemper 2004, p. 17).
Uraian di atas menjelaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi tetap memiliki makna tertentu.
Pada akhirnya, perbedaan pendapat tentang apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan, sebenarnya mudah didamaikan jika kita menerima bahwa memang ada perbedaan pemahaman tentang konsep ideologi sendiri, yang dapat ditelusuri dari sejarah pemikiran. Sering disarankan bahwa salah satu cara yang baik untuk memahami ideologi adalah dengan memahami sejarah istilah itu, yaitu dengan melihat perkembangan panjang dan berliku-liku dari istilah atau konsep ini sejak dikenal pertama kali dua abad yang lalu di Eropa (lihat misalnya, Jorge Lorrain, 1979; John B,. Thompson, 1990). Konsep ideologi, menurut sejarah perkembangannya, dapat dibedakan dalam dua pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral, yaitu ketika ideologi dipahami dalam pengertian yang murni deskriptif ; sebagai sistem pemikiran (system of thought), system kepercayaan (system of belief) atau sebagai praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi dalam pengertian ini dianggap hadir dan menggerakkan tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak dipersoalkan apakah rencana atau program yang digerakkan dengan basis ideologi atau ajaran ini akan mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social order). Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis, yaitu ketika ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses mempertahankan dominasi. Dengan demikian, ideologi di sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial dan relasi kekuasaan.
Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka. Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat’ (Gauthier, p. 28)
Masalahnya memang bagaimana mengembangkan ideologi agar tidak melanggengkan dan memperkuat kekuasaan negara yang totaliter dan otoritarian. Ini merupakan pertanyaan yang akan saya bahas selanjutnya, meskipun perlu ditambahkan juga bahwa masalah yang dihadapi masyarakat modern dan majemuk seperti di Indonesia dewasa ini bukan hanya warisan otoritarianisme negara. Kita juga sedang dan akan dihadapkan pada masalah bagaimana mengembangkan masyarakat Indonesia yang adil dan stabil dengan persamaan dan kebebasan yang besar bagi seluruh warga negara yang masing-masing memiliki doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan, yang komprehensif dan masuk akal (reasonable) tetapi tidak bisa disatukan (incompatible).
Cara Pandang Baru Terhadap Pancasila
Saya telah menunjukkan bahwa problem ideologi Pancasila, yang terlihat pada menguatnya kekuasaan negara yang otoritarian, berhubungan dengan kenyataan bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang komprehensif. Doktrin yang komprehensif merujuk pada sistem ajaran yang berlaku untuk semua subyek dan kebajikan dari ajaran ini mencakup seluruh kehidupan (bandingkan, Rawls, 1996, p. xxxviii). Jadi semua doktrin yang komprehensif memiliki dua ciri penting; pertama, ia berlaku menyeluruh, dan kedua, tidak ada kebenaran lain di luar sebuah doktrin yang komprehensif yang diyakini.
Bukan pada tempatnya di sini menjelaskan mengapa dan bagaimana Pancasila berkembang menjadi sebuah doktrin yang komprehensif, meskipun barangkali perkembangan ini bisa ditelusuri sejak awal proses perumusan Pancasila, ketika identitas nasional dianggap sebagai sesuatu yang unik, seperti terlihat pada idea tentang negara integralistis yang dirumuskan Soepomo dan kemudian juga dikembangkan dengan cara tertentu baik dalam rezim Soekarno maupun Suharto (lihat, Bourchier,
1996). Terlepas dari masalah ini, jelas ada hubungan antara doktrin yang komprehensif dan penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Nampaknya memang bisa diterima bahwa jika sebuah masyarakat menegaskan secara bersama-sama salah satu doktrin moral, kefilsafatan atau keagamaan yang komprehensif, maka untuk bisa mempertahankan doktrin komprehensif itu secara terus menerus dibutuhkan penggunaan kekuataan memaksa (opresi) dari kekuasaan negara. Rawls menunjukkan satu contoh,
Pada masyarakat Barat abad pertengahan yang kurang lebih disatukan oleh kepercayaan Katolik, inkuisi bukan sesuatu yang kebetulan; dan usaha mempertahankan kepercayaan agama Katolik pada masa itu menuntut perlunya penindasan terhadap bid’ah, begitu juga sangsi kekuasaan negara juga dibutuhkan untuk bisa mempertahankan masyarakat yang memeluk doktrin komprehensif yang sekuler (non-keagamaan) seperti masyarakat yang disatukan oleh bentuk utilitarianisme atau liberalisme yang dikembangkan Immanuel Kant
dan John Stuart Mill (1997, p. 274).
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak doktrin-doktrin yang komprehensif yang hidup dalam masyarakat kita. Justru dalam semua masyarakat yang majemuk dan demokratis, keberadaan doktrin-doktrin yang komprehensif (baik moral, kefilsafatan maupun keagamaan) sudah menjadi fakta umum yang harus diterima. ’Fakta pluralisme’ (the fact of pluralism) ini merupakan ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis, bukan semata-mata kondisi historis yang kemudian akan sirna (Rawls, 1996, 1997). Maka, yang menjadi masalah bukan bagaimana meniadakan doktrindoktrin yang komprehensif itu, sebab justru dalam kondisi sosial dan politik yang melindungi kebebasan dan hak-hak dasar, keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang bertentangan akan muncul dan bertambah. Masalahnya adalah bagaimana sebuah ideologi negara dikembangkan dalam sebuah masyarakat demokratis yang modern dan majemuk yang ditandai adanya ’fakta pluralisme’ yang terlihat dalam berbagai bentuk doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan yang berbeda-beda? Yang diperlukan adalah sebuah ajaran yang dapat didukung oleh kemajemukan dari berbagai doktrin moral, kefilsafatan, dan keagamaan yang komprehensif, masing-masing dari sudut pandangnya sendiri.
Hal itu hanyalah merupakan indikasi awal dari cara pandang baru yang perlu kita pertimbangkan, dan kita perlu melihat bagaimana Pancasila sendiri telah dipahami para pendukungnya. Sejarah mencatat, sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam Konstituante terdapat dua kelompok ‘Pendukung Pancasila’ (dikutip dari Ramage 1995, p. 18); Pertama melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah common denominator dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen dan Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah kompromi politik. Kedua, menurut Nasution, adalah yang menekankan Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia. Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Prof. Soepomo, penggagas idea Integralisme.
Contoh ini menjelaskan dua cara pandang tentang Pancasila, dan dapat dipergunakan untuk memahami apakah Pancasila harus diterima sebagai konsepsi politis ataukah sebagai doktrin yang komprehensif. Jika alasan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif harus ditolak, maka pilihannya adalah menerima Pancasila sebagai konsepsi politis. Namun, penting dicatat bahwa pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan pemahaman Pancasila sebagai kesepakatan politik (political agreement), kontrak sosial, atau forum atau common denominator, (meskipun pemahaman Pancasila sebagai forum atau common denominator merupakan bagian dari Pancasila sebagai konsepsi politis), dan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak berarti menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Maka, apakah Pancasila sebagai konsepsi politis? Pancasila sebagai konsepsi politis merupakan rumpun dari nilai (moral) yang memperkuat Pancasila pada status sebagai dasar negara, dan merupakan cara pandang yang mempertimbangkan ciri khusus hubungan politik, yang memang dan harus dibedakan dari jenis hubungan yang lain. Hubungan politik memiliki sedikitnya dua ciri yang penting:
“Pertama, hubungan politis merupakan hubungan diantara orang dalam struktur dasar masyarakat…Kedua, kekuasaan politis yang dijalankan dalam hubungan politis selalu merupakan kekuasaan yang koersif, didukung oleh perlengkapan negara dalam memaksakan hukum-hukumnya… ” (dikutip dari Rawls, 1997, p.277-8)
Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memiliki wilayah (domain) yang terbatas, yaitu domain politis, yang dapat diindentifikasi oleh ciri-ciri hubungan politik itu. Pemahaman demikian akan menyarankan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis harus dibedakan dari wilayah asosiasi, yang memang bersifat sukarela, dan harus dibedakan dari kehidupan pribadi (privat) atau keluarga, yang merupakan wilayah kasih sayang. Dengan mengambil pengertian ‘yang politis’ sebagai domain Pancasila, konsepsi politis menerima prinsip-prinsip Pancasila sebagai satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan ’pandangan yang berdiri sendiri’ (free standing view). Prinsip-prinsip ini membentuk pandangan tentang negara, tetapi pandangan ini dibentuk secara independen dari nilai-nilai yang bersifat non-politis atau dengan setiap hubungan khusus dengan yang non-politis itu.
Maka, sebagai sebuah konsepsi politis, Pancasila tidak menyangkal nilai-nilai atau paham lain yang berlaku pada asosiasi (keagamaan, universitas, LSM dsb), keluarga, atau orang per-orang; Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak mengatakan bahwa pengertian yang (bersifat) politis sama sekali terpisah dari semua nilai atau paham lain yang ada dalam masyarakat. Tujuan menempatkan Pancasila dalam domain politis ini, tentu saja, adalah untuk menentukan bahwa institusi dan struktur kenegaraan dapat memperoleh dukungan dari konsensus yang saling melengkapi (overlapping consensus) diantara berbagai aktor politik dan kekuasaan sosial, sebagaimana nampak dan pernah terjadi pada penerimaan Pancasila sebagai ‘titik temu’ (common denominator) dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia.
Dalam diskusi sering timbul kesalahpahaman tentang pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis. Pertama, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan Pancasila sebagai konsensus politik, sebuah pengertian yang oleh Onghokham juga dipergunakan sebagai justifikasi untuk menyebut Pancasila sebagai kontrak sosial (Kompas, 6 Desember 2001). Pancasila sebagai konsepsi politis lebih dari sekadar konsensus politik, karena mewakili rumpun dari nilai-nilai (moral) politik yang berbeda dengan Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif. Menurut saya, Pancasila juga tidak tepat disebut sebagai kontrak sosial, bukan hanya karena teori kontrak sosial sendiri problematis, tetapi juga pembentukan Pancasila sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kontrak sosial.
Kedua, hubungan antara tindakan privat (non-politis) dan tindakan publik (politis) dalam konteks Pancasila sebagai konsepsi politis perlu mendapat penjelasan tersendiri. Karena Pancasila sebagai konsepsi politis membatasi domain Pancasila hanya pada hubungan-hubungan politis, maka Pancasila hanya berlaku pada struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembaga-lembaga politik, ekonomi dan sosial sebagai kesatuan skema kerjasama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Jikapun Pancasila berlaku pada individu, maka ini hanya dalam kapasitas publik sebagai warga negara, bukan dalam kapasitas privat mereka sebagai individu dengan konsepsi kebaikan komprehensif mereka sendiri. Untuk memperjelas hal ini, saya ingin menunjukkan sebuah ilustrasi dengan mengutip pertanyaan yang diajukan oleh Sidney Hook (Hook, 1976, p. 78) bahwa ’‘sekiranya ada orang Indonesia berkata: saya tidak percaya bahwa benda ada, saya kira hanya jiwa yang ada’, maka apa pengaruh dari konsepsi metafisika realitas terakhir itu atas tingkah laku politik dan dapatkah dia merupakan seorang Indonesia yang baik sebagaimana orang lain yang mempunyai
kepercayaan bahwa bendalah yang merupakan realitas terakhir’’? Pancasila sebagai konsepsi politis mudah menjawab pertanyaan ini, karena setiap individu (atau sesungguhnya juga semua asosiasi (keagamaan, universitas dan LSM dsb), maupun kehidupan keluarga) harus dibiarkan bebas memiliki konsepsinya sendiri tentang kebaikan itu. Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memang dimaksudkan untuk menghindarkan Pancasila terbawa pada kontroversi yang dalam dan yang memang selalu ada dalam filsafat dan agama, serta dalam cakupan teori-teori moral yang luas yang diharapkan berlaku pada individu maupun lembaga.
Ketiga, sering juga dipertanyakan bagaimana kemudian kesepakatan atau konsensus dalam hal-hal fundamental dalam kehidupan bernegara tercapai. Pertanyaan ini muncul karena meskipun mudah menegaskan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis akan memperkuat status Pancasila sebagai dasar negara, tetapi selalu terdapat kemungkinan alternatif pilihan bagi kebijakan yang menentukan bentuk tatanan politik, sosial dan ekonomi yang berbeda. Di sini, saya hanya bisa mengutip pendapat yang membedakan dua cara untuk mencapai pemahaman bersama dan untuk menciptakan
sintesis yang diterima semua warga negara; pertama, adalah konsensus meta-ontologis, yang terdiri dari pengakuan atas konsensus yang terbukti secara keilmuan, dan kedua, konsensus melalui diskursus rasional, yang terdiri dari kesepakatan berkenaan dengan ‘makna dan pengertian dari semua pandangan dunia yang berlainan’ (Jankowski, 2003, p. 168). Tetapi karena dalam menghadapi isu-isu yang pelik dan kontroversial selalu ada beban-penalaran (the burden of reason), yaitu batas kemampuan manusia untuk menilai kebenaran dan kesimpulan dari berbagai pandangan yang saling bertentangan, maka jelas tidak ada cara untuk membuktikan bahwa yang paling masuk adalah mengadopsi doktrin yang komprehensif yang satu atau doktrin komprehensif yang lain. Hal ini akan berarti bahwa, dalam konteks menentukan berbagai pilihan kebijakan, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak mungkin mengabsolutkan sebuah pilihan kebijakan hanya berdasarkan pada salah satu filsafat sosial, melainkan harus membuka diri pada berbagai ragam dan jenis filsafat sosial lain. Kuncinya mungkin akan terletak pada kemampuan penalaran publik (public reason) untuk menilai berbagai pilihan kebijakan, dan karena itu pendidikan publik yang bebas dari hegemoni merupakan kebutuhan yang niscaya bagi pendekatan Pancasila sebagai konsensus
politis. Inilah pengertian penting dari Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus dikembangkan oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan.
Kita sekarang dapat menyebutkan sejumlah manfaat dari Pancasila sebagai konsepsi politis:
1. Pancasila sebagai konsepsi politis menawarkan jalan keluar bagi usaha menghindari otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan ‘pluralisme’ sebagai ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis di Indonesia. (Sebagai konsepsi politis, Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa (koersif) sebagaimana terjadi pada kasus ideologi sebagai doktrin yang komprehensif, karena konsepsi politis tidak beranggapan menerima doktrin komprehensif tertentu, sebaliknya, sebagai sebuah konsepsi politis Pancasila menghormati keberadaan doktrin-doktrin komprehensif, dan ini akan menghasilkan kesatuan (kohesi) sosial akibat dukungan yang diperoleh dari keragaman (diversity) doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat).
2. Pancasila sebagai konsepsi politis memberikan jalan keluar dari kesulitan yang ada selama ini tentang jarak (diskrepansi) atau ketidakjelasan (yang sering dianggap sebagai masalah) antara ajaran Pancasila dan perkembangan sosial, politik dan ekonomi. (Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada domain politis (struktur dasar masyarakat) dari kehidupan bernegara; sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara).
3. Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara, dan bersamaan dengan itu juga memperkuat gagasan fundamental tentang Pancasila sebagai dasar negara. (Gagasan fundamental tentang dasar negara ini tidak lain adalah gagasan tentang ‘arti penting konstitusional’ (constitutional essentials), yaitu prinsip-prinsip fundamental yang menentukan struktur dari proses politik—kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan, dan juga kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum. Jika Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memberikan kerangka prinsip-prinsip dan nilai yang masuk akal untuk memecahkan masalahmasalah yang berhubungan dengan arti penting konstitusional (constitutional essentials) ini, maka besar kemungkinan bahwa keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat akan mendukungnya).
Kesimpulan
Sejumlah hal ingin saya kemukakan untuk menutup diskusi ini. Pertama, cara saya “mendamaikan“ dua pendapat yang bertentangan tentang status Pancasila mungkin akan mendapat tanggapan dari mereka yang mengenal prinsip logika; setidaknya, menurut logika, jika ada dua hal yang bertentangan, maka hanya satu yang mungkin benar; ada kemungkinan keduanya salah tetapi tidak mungkin kedua-duanya benar.
Namun, dalam kasus pertentangan pendapat tentang status ideologi Pancasila itu, pendekatan yang saya kembangkan tidak menentang hukum logika ini, sebab yang saya lakukan adalah menarik inferensi dari kekuranglengkapan logika yang melandasi masing-masing posisi ini. Posisi mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila bukan ideologi mengandung kebenaran tetapi kurang lengkap karena mengabaikan pertimbangan makna positif atau netral dari ideologi, sebaliknya, posisi mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila merupakan ideologi mengabaikan pertimbangan makna negatif atau kritis dari ideologi.
Kedua, pertentangan pendapat tentang status Pancasila itu justru penting dan menarik dipahami karena memberikan petunjuk tentang cara pandang baru terhadap Pancasila; seperti yang sudah saya jelaskan, Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif yang pernah berkembang selama ini rupa-rupanya telah semakin disadari berbahaya karena dapat memperkuat otoriarianisme negara. Menurut saya, pandangan ini benar, dan pilihan yang tersedia adalah menjadikan Pancasila sebagai konsepsi politis. Saya sendiri merasa bahwa Pancasila sebagai sebuah konsepsi politis sudah dengan sendirinya sangat bermakna, yaitu untuk keluar dari kebuntuan selama ini tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan Pancasila yang oleh banyak kalangan dianggap mengalami kemerosotan makna. [Agus Wahyudi, Kepala Pusat Studi Pancasila dan dosen Fakultas Filsafat UGM]
Daftar Bacaan
Asvi Warman Adam, “Betul, Soekarno Penggali Pancasila”, Kompas, 1 Juni 2004
Bourchier, David, The Lineages of Organistic Thought in Indonesia, Phd Thesis,
Monash University, Melbourne, 1996
Budiarto Danujaya, “Reinventing Ideology”, Kompas, 23 Juni 2004
Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya, PT
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997
Foot, Rosemary, “The Study of China’s International Behaviors: International Relations
Approaches”, in Woods, Ngaire (ed.), Explaining International Relations since 1945,
Oxford University Press, Oxford, 1996, pp. 259-279
Fukuyama, Francis, “The End of History?”, The National Interest, 16, Summer, 1989,
pp. 3-18
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture: Selected Essays, Basic Books, New
York, 1973
Gauthier, David, “The Social Contract as Ideology”, in Contemporery Political
Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit (eds), Blackwell,
Oxford, 1997, pp. 27-44
Hook, Sidney, ‘Ideologi’, dalam Percakapan dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah
Filsafat, Harsya W. Bachtiar (ed.,) Penerbit Djambatan, Jakarta, 1980
Jim Supangkat, “Kebudayaan, Modernitas dan Politik Identitas“, Kompas 7 Novemper
2004, p. 17
Jankowski, Michael C., “Universalism as the Quest for Synthesis and Two Limitations
Indicated by The Political Liberalism of John Rawls”, Dialogue and Universalism, No.
3-4, 2003, pp. 167-170
Koentowijoyo, “Objektivikasi, Agenda Reformasi Ideologi“, Kompas, 13 Juli 1999
Koentowijoyo, “Radikalisasi Pancasila “, Kompas, 20 Februari 2004
Koentowijoyo, “Objektivikasi, Memotong Mata Rantai Dikotomi“, Kompas, 04 Maret
2004
17
Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosophy, An Introduction, Clarendon Press,
Oxford, 1990
Levine, Steven I, “Perception and Ideology in Chinese Foreign Policy”, in Chinese
Foreign Policy: Theory and Practice, Thomas W. Robinson and David Shambaugh
(eds), Clarendon Press, Oxford, 1998, pp. 30-46
Lorraine, Jorge, Konsep Ideologi,[terjemahan], LPKSM, Yogyakarta, 1996
Musa Asy’arie, “Pancasila, Pemilu dan Integrasi Bangsa“, Kompas, 12 Juni 2004
Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1972
NN, “Dari Dikusi Dwimingguan ARC: Dimanipulasi Oleh Dua Rezim, Pancasila harus
direvitalisasi”, [http://www.m-amienrais.com], [date last update: 20 oktober 2004]
NN, “Jangan Pernah Serahkan Negara pada Ideologi Mana pun“, Kompas, 28 April
2000
NN, “Pendidikan Pancasila dan Kewiraan Gagal Sosialisasikan Demokrasi“, Kompas,
18 Oktober 2001
NN, “Bangsa Indonesia Belum Miliki Identitas Kebudayaan“, Kompas, 28 Juni 2002
Poole, Ross, Nation and Identity, Routledge, London, 1999
NN, “Nilai-Nilai Pancasila Perlu Mengalami Transformasi“, Kompas, 20 Juni 2003
NN, “Faktor Integratif Bangsa Alami Kemerosotan“, Kompas, 9 Juni 2004
Onghokham, “Pancasila sebagai Kontrak Sosial”, Kompas, 6 Desember 2001
Pabotinggi, Mochtar, “Indonesia: Historicizing the New Order’s Legitimazy Dilemma”,
in Political Legitimacy in Southeast Asia: Quest for Moral Authority, Muthiah
Alagappa (ed.), Stanford University Press, California, 1995, pp. 244-256
Poole, Ross, Nation and Identity, Routledge, London, 1999
Ramage, Douglas E., “Pancasila Discourse in Suharto’s Late New Order”, in
Democracy in Indonesia 1950s and 1990s, David Bourchier and John Legge (eds),
Monash University, Victoria, 1994
18
Ramage, Douglas E., Politics in Indonesia, Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance, Routledge, London, 1995
Rawls, John, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, 1996
Rawls, John, “The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, in
Contemporery Political Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit
(eds), Blackwell, Oxford, 1997, pp. 273-287
Sayidiman Suryohadiprojo, “Rejuvenasi Pancasila”, Kompas, 23 Juni 2004
Sulfikar Amir, “Epistemologi Pancasila”, Kompas, Rabu 3 Nopember 2004
Suparto, ”Revitalisasi Pancasila, Dekonstruksi Ideologi Nasional”, Kompas, 1 Oktober
2004
Thompson, John B., Studies in the Theory of Ideology, University California Press,
Berkeley, 1984
Utley, T.E. and J. Stuart McLure, J., Documents of Modern Political Thought,
Cambridge University Press, London, 1957
Van Langenberg, Michael, “The New Order State: Language, Ideology and Hegemony,
in Arif Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Center of Southeast Asian
Studies, Monash University, 1990, pp. 121-149
sumber: maulanusantara
0 komentar:
Post a Comment